Agama adalah Bahasa yang selalu membuatku bertanya
Bolehkah aku memandangMu sebagai sebuah
Keindahan?
Atau harus menjadi sesuatu yang kutakutkan?
Lalu, harus kusalahkan siapa untuk perasaan yang tak bertuan ini?
Si Hantu yang bernama Rasa
Hantu ini tak jelas sekali
Aku bisa (mencoba) mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang mirip dengan rasa iba, kelegaan setelah sebuah beban yang sangat berat
Namun bisa juga seperti kesedihan yang sangat-sangat menenggelamkan
Seperti Nostalgia, Ia mencampur aduk rasa bahagia dan sedih ATAS sesuatu yang tak lagi ada (namun tak mengapa)
Hantu ini benar-benar tak jelas...
Namun bisakah seseorang rela menyambut Hantu tersebut—membiarkan dirinya meresap atau diresap oleh si Hantu—ketika perut terus menyita pikiran untuk diisi?
Mikirin perut pun susah, apalagi menguras tenaga untuk sebuah Hantu yang tak jelas?
...
Tapi, bolehkah aku memakai Bahasa-Bahasa tadi itu bukan untuk menaruh ucapan-ucapanMu di mulutku?—bahkan aku sendiri masih tak yakin kalau itu benar ucapanMu atau hanya ucapan mereka dalam membahasakan keindahanMu.
Keindahan?
Sok tahu sekali aku menyebutMu sebagai sebuah Keindahan.
Oh, Tuhan. Sudikah kau kami puji-pujikan?
Barangkali, Kau pun tak sudi kami puja-puja—ataupun kami anggap Ada.
Aku sungguh tak tahu, hanya saja, aku masih (ingin) percaya kepada Keindahan.
Mungkin itu adalah secuil dari manifestasiMu (jika Kau sudi untuk Ada).
Dan dari secuil itu, Ia mempersonifikasikan dirinya sebagai si Hantu.
Hantu yang bernama Rasa.
Namun masih saja aku tidak bisa menghilangkan Keraguan.
Tenang, seorang pemuda (yang pernah tua) bernama Soren pernah mencoba meyakinkan kami bahwa Keraguan adalah sebagian dari Iman.
Karena, apa gunanya mengimani sesuatu jika hanya untuk menerima mentah-mentah?
...
Pernah seorang Romo di daratan Jawa sana mewujudkan imannya dalam bentuk aksi langsung—intervensi Humanis ke manusia-manusia yang sengsara.
Sungguh, aku merasa tak mampu untuk seperti itu. Masih ada sisi yang—demi kemudahan komunikasi—egois dalam diriku yang seolah-olah ingin mencapai sesuatu......
Mungkin hal ini lebih dimengerti oleh mereka yang (masih) mengimani psikoanalisa—dorongan-dorongan bawah sadar diriku yang selama ini tak mampu berkutik dan mencari pelampiasannya; yang tak bisa apa-apa dalam menghadapi kenyataan.
Kenyataan?
Kenyataan disini maksudnya, sungguh, dalam maksud yang terdangkalnya.
Kenyataan sebagai 'social layer'. Kenyataan tervulgar, terdangkal, terpraktis, dalam pemaknaannya.
...
Yang membuatku masih percaya kepada Keindahan, ataupun kepada si Hantu tadi itu, adalah hal-hal kecil yang sungguh tak signifikan.
Seperti saat-saat aku 'dikenalkan', entah bagaimana caranya, kepada Mereka—misalnya seperti sang Romo tadi itu.
Tentunya, aku tidak tahu seperti apa sang Romo sebenarnya karena aku tak pernah bertemu dengannya langsung.
Namun hati ini selalu 'meringis' setiap aku 'berkenalan' dengan orang sepertinya.
Sungguh, sang Hantu yang bernama Rasa itu seolah-olah mewujudkan dirinya dalam banyak hal yang telah sang Romo lakukan dan wariskan.
Aku sangat bingung bagaimana menjelaskan perasaan seperti apa 'meringis' tadi itu—ataupun, lagi-lagi, seperti apa si Hantu itu.
"Random act of kindness, senseless act of Beauty"
Mungkin kalimat tersebut bisa men-trigger rasa yang mewakili apa yang tak bisa saya jelaskan dari tadi.
...
Dan jika memang aku tak mampu untuk menjadi seperti Mereka, maka izinkanlah diri ini untuk mementingkan kepentinganku sendiri dan menjadi egois sepenuh-penuhnya. Karena sesungguhnya, salah satu kepentinganku adalah 'mencari' atau 'mewujudkan'-Mu dengan memberiMu sebuah bentuk—yang sebenarnya juga tidak berbentuk...
(Seseorang yang sangat saya kagumi pernah berkata bahwa nada dan suara adalah sang Feminin—yang meledak-ledak, luapan energi (yang bisa juga seksual) dan rasa, sementara bahasa yang menjadi liriknya adalah sang Maskulin—yang kokoh, yang memberi bentuk dan garis. Sama seperti bagaimana sang Feminin adalah Darah dan sang Maskulin adalah pembuluhnya, rongga yang menyalurkan Darah tersebut.)
Dan jika diperbolehkan, maka izinkanlah aku untuk melakukan itu sembari tetap memikirkan perut.
Amin.