2014.
Tampaknya akan menjadi tahun yang ‘menarik’, terutama di
Jakarta. Paling tidak, sampai 2-3 tahun setelahnya akan tetap begitu. Buku-buku
distopia yang pernah anda bacapun nanti tak akan sia-sia di pojokan rak buku
anda.
2014 akan menjadi tahun pemilihan presiden berikutnya, yang
akan menjabat selama 2014-2019. Lagi-lagi, kandidat-kandidat dari calon
presiden yang mencalonkan diri untuk pempres nanti terdiri dari muka-muka lama
—seolah hantu dari orde baru masih saja tak melepaskan diri.
Berbagai isu yang terjadi akhir-akhir ini, seolah memberikan
sedikit sneak-peek menuju Indonesia 2014 nanti. Saya rasa, semua orang sudah
tahu tentang FPI dan isu-isu yang diramaikannya. Dari soal siraman teh sampai
meninggalnya warga yang tertabrak mobil sweeping FPI. Semua orang juga tahu,
apa yang kita proteskan ke ‘negara’ dan kita juga tahu bahwa suara kita tak akan pernah didengar.
Tapi sudah kadaluarsa rasanya untuk tetap menghadapi dan
melihat FPI sebagai sekedar ‘grup garis keras’ —fundamentalis akar rumput yang
kelewat ‘keras’, dan berserah kepada mekanisme pertahanan kita dengan berpikir
‘Islam mereka ngawur, tidak seperti Islam kita. Islam kita cinta damai’.
Ada cara lain dalam memandang persoalan ini. Baiknya, kita hindari cara berpikir “siapa yang paling
benar” ini, terutama secara teologi, karena tidak akan berujung pada
penyelesaian (sementara di belakang, teman-teman yang ateis menertawakan kita
yang beradu ayat hanya untuk melakukan hal yang benar).
Kita tidak bisa sekedar menyalahkan persoalan FPI sebagai grup
yang ‘keras’ saja. Persoalan ‘grup fundamentalis’ lebih rumit dari sekedar
sekelompok orang yang memiliki pandangan agama yang kelewat keras. Ketika
membahas grup garis keras, kita harus juga melihat dari sisi sejarah, ekonomi,
dan sosial dari bagaimana terlahirnya grup-grup tersebut.
Tapi yang ingin saya umbarkan disini bukanlah tentang latar
belakang FPI.
Saya hanya ingin menyatakan ketakutan saya.
2014 dipenuhi oleh calon-calon presiden yang merupakan
produk orde baru. Dimana dua calon tersebut adalah petinggi militer yang
berkecimpung langsung dalam kejadian-kejadian dipuncak orde baru.
Prabowo dan Wiranto.
Jujur saja. Ini bukanlah tulisan yang objektif. Sebagaimana
tidak ada yang namanya jurnalisme yang objektif. Walau ini tidak layak dihitung
bagian dari jurnalisme, yang pasti tulisan ini subjektif. Subjektif pol-polan.
Dua hal yang saya
takutkan yang mungkin berdampak dari isu FPI ini yang mungkin akan mempengaruhi
pempres 2014 nanti:
Dibuatnya undang-undang yang melarang ormas (organisasi
masyarakat). Yang tak langsung juga akan membunuh kebebasan berpikir dan
berbicara bagi masyarakat. Tak cukupkah ruang publik yang telah direnggut oleh
pemerintah semenjak 1965 saat mereka memberantas PKI? Dengan kondisi kita sekarang
(di Jakarta), dimana taman dan ruang publik dimana orang-orang bisa berkumpul
dan bertukar pikiran, beraktifitas dan berbagi aspirasi, telah ditiban dengan
berpuluh-puluhan Mall. Apakah kita menginginkan kembalinya otoritas tangan besi
yang dengan senang hati membungkam pikiran dan suara kita?
Sekarang saja suara kita tidak pernah didengar. Bagaimana
nanti? Kalau berkumpul dan bertukar pikiran saja kita bisa dipenjara.
Hal lain yang ditakutkan adalah tentunya, dengan gamblang
dan lancang, adalah kembalinya sosok otoriter yang mengambil alih kursi
kepresidenan 2014 nanti.
Gejala Neo-Soehartoism, sebut saja, yang dimana masyarakat
ketakutan dengan segala kekerasan yang dilakukan grup sipil (non-state) dan mengelu-elukan kepemimpinan tangan besi
yang bisa menyediakan ‘keamanan’. Rindu akan sosok Bapak yang tersenyum yang
melindungi kita semua.
Ya tuhan..
Hanya butuh sosok musuh, untuk menyatukan kita semua. Coba
tengok Al-Qaeda yang terus samar —semua bisa jadi Al Qaeda. Mungkin besok,
tahun depan, mungkin di utara, selatan, mungkin ibu anda, selingkuhan anda,
atau siapapun —semua tergantung agenda sang penguasa yang mengaku pahlawan.
Tak perlu jauh liat ke negara seberang, kita pernah
melakukan hal yang sama dengan PKI. Tak perlu jauh lihat kebelakang sejarah,
kita melakukannya sehari-hari.
Kita berbaku hantam dengan SMA sebelah ketika mereka
terlihat lebih nyolot. Kita memusuhi
etnis lain ketika mereka lebih kaya secara ekonomi.
Tapi kita bersatu ketika tim sepak bola kita bertanding
dengan Malaysia!
Untuk negara mengeksekusikan ‘power’ mereka, tentu lebih
mudah jika ada ‘musuh bersama’. Kita berhasil melakukannya di 1965 dengan PKI.
Tidak menutup kemungkinan, modus yang sama akan dipakai nanti.
Dengan memaraknya kerusuhan yang dibuat oleh organisasi
kemasyarakatan semacam FPI, demand untuk keamananpun meningkat. Ketakutan kita
terhadap grup garis keras akan diseimbangi oleh proposal atau janji yang
menawarkan keamanan. Yang mungkin akan ditawarkan oleh pihak yang secara
struktural memegang keamanan (..baca: senjata) negara.
Dan hal tersebut bisa berujung kepada pemenjaraan pikiran dan ekspresi yang dikebiri, semua atas nama 'keamanan' palsu.
Tulisan ini tidak lebih dari asumsi, bukanlah prediksi, dan
hanyalah kegelisahan hati saya.
Saya pikir, 2014 akan menjadi awal dari periode baru yang
menarik, yang penuh akan masalah yang memuncak, kerusuhan, dan akan menjadi
periode dalam sejarah yang cukup menantang.
Untuk itu, sampai 2014 nanti, selamat menikmati setengah akhir
2013!
‘Menuju Indonesia Distopia 2014’