*Tulisan berikut akan cukup vulgar dan bau layaknya comberan*
Akhir-akhir ini anda bisa dengan mudah menemukan diri anda dihantam bertubi-tubi dengan hiburan vulgar lima tahunan sekali: gelut calon presiden.
Entertainment semacam inilah yang tampaknya ber-rating tinggi. Hiburan vulgar seperti inilah yang bisa membangun kebersamaan kita, berkumpul bersama kawan, menertawakan orang-orang yang saling ribut menjelekan capres tim lawannya.
Tentu tak hanya tawa, anda juga mungkin merasa muak, geram, dan gatal ingin menggaruk sampai kulit kepala anda bolong.
Mungkin harusnya para pelaku politik Indonesia membuat sebuah deal dengan produser tv-tv lokal untuk membuat acara-acara tv baru dan mereka bisa menambah pendapatan mereka dengan berbicara dan beradu bullshit di acara-acara tersebut (Apa memang malah sudah?). Lumayankan, entertainment semacam ini toh laku keras tak hanya di tv tapi juga di internet, seperti di youtube misalnya.
Di dalam hiburan-hiburan vulgar tersebut, banyak tentunya yang berisikan kampanye visi misi program dan tetek bengek slogan masing-masing kandidat. Dan hanya dari kampanye tersebut itu saja, kita bisa menarik sedikit gambaran tentang kita sendiri sebagai sebuah masyarakat: seperti apa hal yang kita ingin lihat untuk terjadi? Apa pandangan kita terhadap isu-isu —entah isu lingkungan, netralitas internet, HAM, energi, atau lainnya— dan isu mana yang benar-benar kita prioritaskan terdahulu? Seperti apakah keinginan kita sebagai sebuah masyarakat?
Hal lain yang bisa kita lihat juga dari bagian arus kampanye-kampanye tersebut, adalah narasi yang mereka pakai dalam berkampanye. Sering kita menemukan sebuah premis atau asumsi, bahwa generasi anda dan saya itu apatis. Tak peduli dengan negara sendiri; merasa kalah dengan negara lain dan ingin tinggal disana saja; cuma bisa mengumbar kejelekan-kejelekan tanpa tau prestasi negara, dan lain-lainnya.
Entahlah... tapi narasi semacam inilah yang selalu menutup-nutupi kepingan wajah masyarakat Indonesia yang majemuk.
Maksud saya, bagaimana dengan mereka yang menganggap bahwa pemilu bukanlah satu-satunya cara untuk berdemokrasi? Yang tidak mau hanya senang diberi kesempatan lima tahun sekali, lalu disisanya tetap menjadi budak dan tak bisa turut andil, apa lagi bersuara di dalam negara.
Atau mereka yang tak pernah berpikir untuk tinggal di negara luar karena lebih bagus daripada Indonesia... tapi karena mereka tahu bahwa konsep negara hanyalah konstruksi sosial dan bagian dari tahap laju sejarah —masyarakat yang berkembang dari kecil: tribal, menuju agrikultural, lalu menuju skala besar dan massal: Industrial, dan seiiringan dengannya, muncul konsep Nation-State dan lahirnya identitas kebangsaan. 'Anda adalah apa yang tercetak diatas kertas-kertas itu, yang bernama paspor'.
Atau yang sinis, kalau bukan lagi skeptis, terhadap apa yang muncul di permukaan? Bahwa ada sesuatu yang tercium busuknya dibalik permukaan yang terlihat, meski kita tak tahu pasti apa itu.
Bahwa siapapun yang menang nanti, di belakangnya akan tetap ada mereka —entah mereka yang ada di meja legislatif atau diluar itu— yang ujung-ujungnya tetap merekalah yang akan menentukan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka (terciumkah bau dari partai oposisi berwarna biru dan bagaimana posisi mereka memberi pengaruh pada penentuan kebijakan-kebijakan nanti?). Bahwa semua milih-memiluh ini hanya omongkosong formalitas skala nasional.
Jarang kita bisa menemukan refleksi wajah masyarakat kita yang seperti itu di dalam arus hiburan vulgar ini.
Satu hal yang pasti, wajah yang terefleksikan dari masyarakat kita di permukaan, mungkin juga akan terefleksikan di sang pemenang pemilu nanti.
Masyarakat yang fasis, akan melahirkan pemimpin yang fasis, yang tak akan mengerti dan menghargai perbedaan.
Masyarakat yang buta akan masa lalunya, akan melahirkan pemimpin yang terus menutup-nutupi masa lalu.
Masyarakat yang otaknya mentok di pemilu, akan melahirkan pemimpin yang nggak akan mendengar saat sudah bukan pemilu lagi.
Masyarakat yang tolol akan terus 'melahirkan' pemimpin saja, bukannya malah memimpinnya sendiri.
Ada benarnya juga yang pernah diungkapkan Hans David tentang masyarakat dan pemimpinnya.
Pejabat atau orang-orang yang kita sebut sebagai 'pemimpin' itu pada dasarnya (atau seharusnya) hanyalah pelayan publik.
Tapi kalau yang dilayani saja kampret, masa berharap dilayani sama orang yang baik dan pantas?
No comments:
Post a Comment