Thursday, January 1, 2015

Penyesalan selalu datang di belakang—suatu kebenaran yang tak terpatahkan. Ada seseorang yang pernah bilang kepada saya, "lebih baik aku menyesal karena ngelakuin sesuatu daripada nyesel karena ngga ngelakuin sesuatu itu."
Dan hebatnya, penyesalan terbesar saya adalah tidak melakukan yang seharusnya saya lakukan dengan orang yang bilang kalimat itu tadi.

Melihat ke belakang, saya banyak mengakhiri hubungan dengan orang-orang yang cukup penting di dalam hidup saya dengan tidak baik-baik.
Mementingkan ego dan bias saya sendiri; saya pernah membuat orang yang sangat penting untuk saya—orang yang membentuk, mengubah, menghancurkan, dan membangun lagi 'Poska' yang ada sekarang ini—mengucapkan kata-kata terakhirnya kepada saya dan menjadi pisau yang tak pantas untuk saya cabut dari bilik kiri dada ini

"Kenapa kamu gak bisa bahagia untuk aku, kayak aku bahagia untuk kamu"

Kenapa menjadi pisau? Karena saya tidak pantas untuk tidak senang untuk orang itu. Orang yang telah terbebani jauh jika harus dibanding-bandingkan. Orang yang rela melakukan apa saja. Orang yang tetap bisa melangkah ke depan dan menerima, let go and keep moving forward. Dan Ia bisa tetap bahagia untuk si mahluk terkutuk ini, meski harus mungkin melihat hal-hal yang mencabik-cabik hatinya sendiri.

Sementara saya... saya tetap memaksakan dan menyumpal ego saya ke mulutnya. Meski, untuk pembelaan saya sendiri, ego tersebut timbul karena tidak ingin melihat seseorang tersebut menderita karena orang lain. Tapi tahu apa saya? Tahu apa saya tentang pilihan-pilihan hidupnya?

Saya menjadi orang yang paling tidak pantas, sepantas-pantasnya orang, untuk memaksakan egonya untuk Ia yang sudah membuang egonya untuk saya.

Dan saya menyesal. bukan menyesal karena sudah mengenal seseorang tersebut. Menyesal karena harus ditutup dengan kata-kata pisau tadi.

Saya bersyukur bisa pernah bersama orang tersebut. Saya menyadari, mungkin memang kapasitas saya tak cukup untuk membahagiakan dia. Paling tidak, untuk sekarang.
Dan mungkin memang Ia ada di dalam hidup saya untuk mencuci Karma saya yang dahulu. dan tugasnya sudah Ia laksanakan untuk saat ini.

*Karma adalah hal yang lucu, bahkan saat kita menyadari dengan penuh sadar bahwa tugas mencuci karma kita sudah selesai—dan menertawakan hal tersebut dengan penuh sadar—pada akhirnya "selesai" punya caranya sendiri yang dimana penyelesaian tersebut tidak kita sadari seperti tadi saat kita menertawakannya.*

Untuk itu saya tidak bisa menyia-nyiakan Karma yang telah Ia cuci; kerangkeng yang telah Ia buka.

Dan bersama itu, setelah ini akan menjadi ajang pembuktian untuk saya kepada seseorang tersebut. Juga kepada Perempuan yang menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan ombak. 

No comments:

Post a Comment