Friday, April 5, 2013

Ideological Fetishism VS Realpolitik


Dua spektrum yang tak kerap bertemu. Disini saya dengan lancang akan memisahkan dua entitas  yang secara gelap menyelimuti society kita.

Tentu jika bertanya kepada seseorang, pandangannya akan politik sekaligus posisi mereka dalam menyikapinya, kita akan mendapat jawaban yang bermacam-macam.

Ada yang mengaku apolitis tanpa menyadari bahwa dengan menjadi apolitis tetaplah politis. Paradox yang menjemukan.

Ada juga yang akan dengan menggebu-gebu seperti mesin-mesin dan massa yang meruntuhkan tembok berlin, mengklaim bahwa ideologi tertentu sesuai dengan yang mereka percaya itu adalah yang seharusnya diterapkan.

Dari mereka yang kedua, maka kita bisa temukan yang berpandangan lebih ekstrem — yang memberi harga mati kepada ideologi tersebut tanpa melihat kenyataan kondisi budaya dan sosial yang ada di negara ini untuk disesuaikan. Dengan lancang saya akan memanggil mereka ini sebagai mereka yang fetish ideologi.

Apakah ini sebuah kritik terhadap mereka? Bukan.

Jika kita lihat peta politik Indonesia secara mudah kita bisa lihat bahwa mereka yang berperan langsung dalam pemerintahan maupun partai, berdiri jauh dari spektrum yang tadi berlabel fetish ideologi.

Di tahun 2013 ini, semakin banyak partai-partai yang hanya menjadi kendaraan bagi pemimpin partai tersebut. Sebut saja SBY dan Partai Demokratnya, Prabowo dengan Gerindranya, dan lain-lain.

‘Realpolitik’ yang kenyataannya tidak melihat akan ideologi dan –isme tertentu.

 Berbeda sekali dengan jika kita membayangkan  peta politik yang ada jika pemeran politik di Indonesia adalah mereka yang fetish akan ideologi atau ‘-isme’ tertentu. Mungkin partai-partai yang ada bukanlah kendaraan pribadi si pemilik modal, tapi lebih seperti kendaraan bersama insan-insan yang memiliki visi dan misi yang sama.

Tentu jika kita melihat sejarahnya, tidak selalu dan tidak semua partai merupakan kendaraan pribadi seorang pemimpinnya.

Dalam presentasinya di Tedx Jakarta, Kevin Evans menjelaskan bahwa polarisasi ideologi yang ada di Indonesia tidaklah seperti yang ada di Barat — dikotomi kapitalisme dan komunisme — melainkan antara kelompok yang menginginkan hukum islam untuk diterapkan di Indonesia versus kelompok yang tidak, sebut saja nasionalis. Tentu disetiap periode sejarah Indonesia, polarisasinya tidak seterusnya antara Islamis dan Nasionalis. Untuk lebih detilnya bisa dilihat di link video tersebut : 

http://www.youtube.com/watch?v=DXnI7P4XtV0

Namun yang bisa kita lihat dari hal tersebut adalah fakta bahwa partai-partai pernah (atau sempat?) menjadi kendaraan umum, bukan kendaraan pribadi si pemilik modal seperti yang terjadi dewasa ini. Seiring dengan waktu berubah menjadi menjadi kendaraan pribadi dan semakin blur garis yang membedakan ideologi antar partai — lebih seperti kendaraan untuk kepentingan pribadi elit-elit yang ada didalamnya saja.

Mungkin kita membutuhkan lebih banyak dari mereka yang fetish ideologi, paling tidak ekstrem yang satu ini akan menyeimbangkan ekstrem yang satunya tadi.

Saya sendiri tidak tahu seperti apa sudut pandang teman-teman mahasiswa, aktivis, pemuda-pemudi yang ada di Indonesia sekarang. Apakah mereka memilih untuk mengaku apolitis atau lebih banyak yang mengaku ideologis.

Mungkin benar apa yang diucapkan Bang Iqbal, ketua suku di Kedai Lentera dan Lentera Timur (maaf bang :P)

Bahwa saat 1998 memuncak, energi dari mahasiswa dan aktivis yang ada terkonsentrasikan jadi satu: untuk menumbangkan Soeharto. Lalu setelah itu menjadi lesu, pergerakan-pergerakan yang ada menjadi sporadis, kecil dan banyak.

Sebetulnya ingin sekali saya memetakan pandangan kita, pemuda generasi post-orde baru. Paling tidak yang ada di Jakarta dan Bandung.

Tapi seperti biasa, mungkin hanya menjadi wacana mulut besar saya saja.

No comments:

Post a Comment