Dua spektrum yang tak kerap bertemu. Disini saya dengan
lancang akan memisahkan dua entitas yang
secara gelap menyelimuti society kita.
Tentu jika bertanya kepada seseorang, pandangannya akan
politik sekaligus posisi mereka dalam menyikapinya, kita akan mendapat jawaban
yang bermacam-macam.
Ada yang mengaku apolitis tanpa menyadari bahwa dengan
menjadi apolitis tetaplah politis. Paradox yang menjemukan.
Ada juga yang akan dengan menggebu-gebu seperti mesin-mesin
dan massa yang meruntuhkan tembok berlin, mengklaim bahwa ideologi tertentu
sesuai dengan yang mereka percaya itu adalah yang seharusnya diterapkan.
Dari mereka yang kedua, maka kita bisa temukan yang
berpandangan lebih ekstrem — yang memberi harga mati kepada ideologi tersebut
tanpa melihat kenyataan kondisi budaya dan sosial yang ada di negara ini untuk
disesuaikan. Dengan lancang saya akan memanggil mereka ini sebagai mereka yang
fetish ideologi.
Apakah ini sebuah kritik terhadap mereka? Bukan.
Jika kita lihat peta politik Indonesia secara mudah kita
bisa lihat bahwa mereka yang berperan langsung dalam pemerintahan maupun
partai, berdiri jauh dari spektrum yang tadi berlabel fetish ideologi.
Di tahun 2013 ini, semakin banyak partai-partai yang hanya
menjadi kendaraan bagi pemimpin partai tersebut. Sebut saja SBY dan Partai
Demokratnya, Prabowo dengan Gerindranya, dan lain-lain.
‘Realpolitik’ yang kenyataannya tidak melihat akan ideologi
dan –isme tertentu.
Berbeda sekali dengan
jika kita membayangkan peta politik yang
ada jika pemeran politik di Indonesia adalah mereka yang fetish akan ideologi
atau ‘-isme’ tertentu. Mungkin partai-partai yang ada bukanlah kendaraan
pribadi si pemilik modal, tapi lebih seperti kendaraan bersama insan-insan yang
memiliki visi dan misi yang sama.
Tentu jika kita melihat sejarahnya, tidak selalu dan tidak semua
partai merupakan kendaraan pribadi seorang pemimpinnya.
Dalam presentasinya di Tedx Jakarta, Kevin Evans menjelaskan
bahwa polarisasi ideologi yang ada di Indonesia tidaklah seperti yang ada di
Barat — dikotomi kapitalisme dan komunisme — melainkan antara kelompok yang
menginginkan hukum islam untuk diterapkan di Indonesia versus kelompok yang
tidak, sebut saja nasionalis. Tentu disetiap periode sejarah Indonesia,
polarisasinya tidak seterusnya antara Islamis dan Nasionalis. Untuk lebih
detilnya bisa dilihat di link video tersebut :
http://www.youtube.com/watch?v=DXnI7P4XtV0
Namun yang bisa kita lihat dari hal tersebut adalah fakta
bahwa partai-partai pernah (atau sempat?) menjadi kendaraan umum, bukan
kendaraan pribadi si pemilik modal seperti yang terjadi dewasa ini. Seiring
dengan waktu berubah menjadi menjadi kendaraan pribadi dan semakin blur garis
yang membedakan ideologi antar partai — lebih seperti kendaraan untuk
kepentingan pribadi elit-elit yang ada didalamnya saja.
Mungkin kita membutuhkan lebih banyak dari mereka yang
fetish ideologi, paling tidak ekstrem yang satu ini akan menyeimbangkan ekstrem
yang satunya tadi.
Saya sendiri tidak tahu seperti apa sudut pandang
teman-teman mahasiswa, aktivis, pemuda-pemudi yang ada di Indonesia sekarang.
Apakah mereka memilih untuk mengaku apolitis atau lebih banyak yang mengaku
ideologis.
Mungkin benar apa yang diucapkan Bang Iqbal, ketua suku di
Kedai Lentera dan Lentera Timur (maaf bang :P)
Bahwa saat 1998 memuncak, energi dari mahasiswa dan aktivis
yang ada terkonsentrasikan jadi satu: untuk menumbangkan Soeharto. Lalu setelah
itu menjadi lesu, pergerakan-pergerakan yang ada menjadi sporadis, kecil dan
banyak.
Sebetulnya ingin sekali saya memetakan pandangan kita,
pemuda generasi post-orde baru. Paling tidak yang ada di Jakarta dan Bandung.
Tapi seperti biasa, mungkin hanya menjadi wacana mulut besar
saya saja.
No comments:
Post a Comment