Friday, April 5, 2013

Utopia Picisan


Utopia hanya eksis dalam pikiran kita. Itulah kira-kira hasil perbincangan via twitter saya dengan seorang kawan.

Perbincangan tentang utopia ini muncul dalam renungan saya selama bersinggah selama 2 minggu di negeri senyuman dan malaikat, yang dulu disebut Siam ini.

Hal yang mencolok saya selama persinggahan saya ini, mungkin terkesan terlalu judgemental, mungkin jujur apa adanya, mungkin penuh akan kesoktahuan dan asumsi belaka, dan terlalu subjektif.

Berhubung tempat menginap saya terletak dekat dengan jalan utama turis asing, Khao San road, mata saya banyak tercolok pada turis-turis terutama yang mengabdikan diri mereka pada cara hidup bohemian moderen: backpacker.

(Lagi, pandangan saya ini sangatlah judgemental dan dangkal. Tak lupa tentunya, saya tidak bermaksud untuk mengklaim mana yang benar dan salah akan sebuah budaya dan identitas. Hanya saja mungkin ini bisa dijadikan sesuatu yg bisa direnungkan.)

Sebuah stereotype mungkin hanyalah karikatur dari kenyataan sosial yang ada, tapi setidaknya itu “setengah-benar”.

Di daerah ini, untuk setiap kedipan mata dalam sekian menit, kita bisa menemukan turis bergaya backpacker yang tak terhitung jumlahnya. Ciri-ciri dari gaya ini sendiri, setidaknya memiliki rambut dreadlock ala reggae dan tato disekujur tubuhnya — sekali lagi, saya tidak merendahkan atau mengagungkan budaya/identitas yang ada (mungkin, ya, menggeneralisir).

Terkadang di beberapa ruang dan waktu dalam pikiran kita, seseorang memilih identitas untuk mencapai keunikan dirinya sebagai seorang individual — identitas dalam konteks ini adalah sebagai ‘backpacker’. Jika itu case-nya, maka dengan berada di spot-spot pilgrimage backpacker seperti disini, secara langsung akan membunuh proses pencapaian keunikan individual tadi. Karena hampir semua individu yang ada, menggantungkan jubah identitas yang sama atau mirip.

Yang perlu diingat lagi bahwa ini hanya asumsi tentang alasan seseorang memakai suatu identitas.

Jika kita melihatnya dalam arah yang berbeda, maka kita bisa melihat adanya pergerakan bohemia-bohemia modern dari berbagai negara yang ada di dunia (terutama Barat), bersinggah disalah satu spot persinggahan terbesar (Khao San), lalu bergerak lagi berpencar ke pelosok-pelosok dunia yang lain.

Seperti pergerakan sebuah suku yang terikat tanpa perjanjian ataupun kontrak, untuk merayakan hidup di berbagai tempat di dunia..

..atau sebaliknya, keluar dari konformitas hanya untuk kembali ke dalamnya — hanya saja di tempat yang berbeda.

Inilah yang menyusupi benak saya, bahwa dengan adanya sekelompok orang yang juga mencari visi dan ‘berpakaian’ sama dengan kita, kita bisa menciptakan utopia kita didalam kelompok tersebut.

Lalu.. apakah Utopia ini adalah kondisi atau situasi?

“Dua-duanya sekaligus bukan keduanya,” kata kawan saya di balik layar twitternya.

Dan ya, menurut asal kata itu sendiri, ou-topos yang berarti “no place” dan eu-topos  yang berarti “good place”, dua arti yang bertentangan namun menjadi satu karena celakanya lidah :P

No comments:

Post a Comment