Utopia hanya eksis dalam pikiran kita. Itulah kira-kira
hasil perbincangan via twitter saya dengan seorang kawan.
Perbincangan tentang utopia ini muncul dalam renungan saya
selama bersinggah selama 2 minggu di negeri senyuman dan malaikat, yang dulu
disebut Siam ini.
Hal yang mencolok saya selama persinggahan saya ini, mungkin
terkesan terlalu judgemental, mungkin jujur apa adanya, mungkin penuh akan
kesoktahuan dan asumsi belaka, dan terlalu subjektif.
Berhubung tempat menginap saya terletak dekat dengan jalan
utama turis asing, Khao San road, mata saya banyak tercolok pada turis-turis
terutama yang mengabdikan diri mereka pada cara hidup bohemian moderen:
backpacker.
(Lagi, pandangan saya ini sangatlah judgemental dan dangkal.
Tak lupa tentunya, saya tidak bermaksud untuk mengklaim mana yang benar dan
salah akan sebuah budaya dan identitas. Hanya saja mungkin ini bisa dijadikan
sesuatu yg bisa direnungkan.)
Sebuah stereotype mungkin hanyalah karikatur dari kenyataan
sosial yang ada, tapi setidaknya itu “setengah-benar”.
Di daerah ini, untuk setiap kedipan mata dalam sekian menit,
kita bisa menemukan turis bergaya backpacker yang tak terhitung jumlahnya.
Ciri-ciri dari gaya ini sendiri, setidaknya memiliki rambut dreadlock ala
reggae dan tato disekujur tubuhnya — sekali lagi, saya tidak merendahkan atau
mengagungkan budaya/identitas yang ada (mungkin, ya, menggeneralisir).
Terkadang di beberapa ruang dan waktu dalam pikiran kita,
seseorang memilih identitas untuk mencapai keunikan dirinya sebagai seorang
individual — identitas dalam konteks ini adalah sebagai ‘backpacker’. Jika itu
case-nya, maka dengan berada di spot-spot pilgrimage backpacker seperti disini,
secara langsung akan membunuh proses pencapaian keunikan individual tadi.
Karena hampir semua individu yang ada, menggantungkan jubah identitas yang
sama atau mirip.
Yang perlu diingat lagi bahwa ini hanya asumsi tentang
alasan seseorang memakai suatu identitas.
Jika kita melihatnya dalam arah yang berbeda, maka kita bisa
melihat adanya pergerakan bohemia-bohemia modern dari berbagai negara yang ada
di dunia (terutama Barat), bersinggah disalah satu spot persinggahan terbesar
(Khao San), lalu bergerak lagi berpencar ke pelosok-pelosok dunia yang lain.
Seperti pergerakan sebuah suku yang terikat tanpa perjanjian
ataupun kontrak, untuk merayakan hidup di berbagai tempat di dunia..
..atau sebaliknya, keluar dari konformitas hanya untuk
kembali ke dalamnya — hanya saja di tempat yang berbeda.
Inilah yang menyusupi benak saya, bahwa dengan adanya
sekelompok orang yang juga mencari visi dan ‘berpakaian’ sama dengan kita, kita
bisa menciptakan utopia kita didalam kelompok tersebut.
Lalu.. apakah Utopia ini adalah kondisi atau situasi?
“Dua-duanya sekaligus bukan keduanya,” kata kawan saya di
balik layar twitternya.
Dan ya, menurut asal kata itu sendiri, ou-topos yang berarti “no place” dan eu-topos yang berarti “good place”, dua arti yang
bertentangan namun menjadi satu karena celakanya lidah :P
No comments:
Post a Comment