... dan disinilah saya berada. Dunkin Donuts Matraman, membaca buku Si Parasit Lajang, ditemani televisi yang menampilkan acara gosip bertema dangdut: kehamilan berskandal, pernikahan dangdut yang dipersatukan Tuhan, dan tetek bengek per'artis'an.
Sebuah disonansi yang nyata. Buku Parasit Lajang mengajak pembacanya untuk sedikit lebih kritis terhadap kapitalisme patriarkis, sementara televisi disebelah menggemborkan hingar-bingar kapitalisme-kebudayaan —dimana kehidupan pribadi para "artis" menjadi produk yang dijual, dan sementara itu semuanya saya alami di dalam salah satu produk kapitalisme global: Dunkin Donuts.
***
Baru-baru ini saya mencicipi dua dunia yang 'berbeda'. Dunia yang pertama, adalah dunia yang diisi oleh pionir-pionir jurnalisme yang menjunjung tinggi multikulturalisme di dalam Indonesia. Bahwa narasi umum "Jawanesia" perlu diteliti ulang —bahwa Indonesia bukanlah Jakarta dan Jawa saja. Analisa dengkulan saya menangkap bahwa di 'dunia' ini mereka mengkaji 'Low Culture' (budaya keseharian, bukan rendahan) yang bermanifestasi dalam narasi politik, bahasa, dan identitas. Kesan orang-orang yang didalamnya pun, intelektual-intelektual yang sederhana.
Sementara 'dunia' yang kedua, dipenuhi dengan hingar-bingar 'High culture' —budaya modern (ini definisi terlewat dangkal sebenarnya), seperti seni yang bisa kita temukan didalam galeri, atau segala budaya yang berbau urban dan modern. 'Dunia' inipun, diisi oleh manusia-manusia urban ibukota.
Sekarang, saya semakin mengerti dimana 'tempat' saya sebenarnya. Aneh memang, sekeras apapun kita meyakinkan diri kita untuk anti kepada konformitas sosial, tetap saja kita butuh sebuah 'tempat yang nyaman'.
***
Masih, saya duduk didalam Dunkin Donuts Matraman. Sembari menulis, TV disebelahpun beralih dari acara gosip menjadi 'Laptop Si Unyil'.."
No comments:
Post a Comment