Pemilu 2014 sudah semakin dekat dan beberapa teman saya
mulai bertanya bagaimana cara mencoblos jika tidak berada di Indonesia. Untuk
para perantau yang sedang tinggal diluar Indonesia, saya dengar ada caranya
—entah lewat pos atau apa, saya tidak mengikuti tata caranya. Karena saya
pribadi memilih untuk tidak memilih pemilu 2014 (dan mungkin pemilu kapanpun).
Ha? Ngga nyoblos? Lo
apatis? Ngga peduli sama negeri sendiri? Nanti jatah suara lo dipake buat
manipulasi jumlah suara lo rela? Dan seterusnya, tanggapan-tanggapan atas
pilihan untuk tidak memilih.
Kesannya mereka yang tidak memilih adalah orang yang jahat
disini. Sebelumnya agar lebih mudah, izinkan saya menyebut mereka yang tak
memilih menjadi dua kategori yang berbeda: Golongan Putih dan Golongan Hitam.
Lalu apa yang sebenarnya yang membuat mereka-mereka ini
menjadi Golongan Putih/Hitam? Dan apa yang membedakan dua golongan tersebut? Mari
kita ulas lagi premis-premis yang ada di perbincangan ‘memilih untuk tidak memilih’
ini.
Dengan
memilih=membawa perubahan/aspirasi
Secara pribadi saya tak percaya bahwa sistem pemilu mampu
mewakili aspirasi kebanyakan dari kita. Karena sistem tersebut berfondasi pada
pengeksekusian policy-policy yang sifatnya top-bottom,
bukan Bottom-Top. Contoh
sederhana yang bisa saya berikan tentang Bottom-top,
ironisnya justru tidak nyata terjadi: jika seandainya Car Free Day di Jakarta
bukanlah keputusan pemerintah, tapi berawal dari gerakan kecil grup-grup
masyarakat yang, sebut saja environmentalist,
lalu dari gerakan kecil tersebut berkembang jadi policy official yang diangkat
oleh pemerintah.
Berangkat dari cara pandang ini, asumsi bahwa dengan memilih
calon presiden yang ada akan merubah kondisi Indonesia, sangatlah absurd dan
insignifikan. Apalagi melihat kandidat-kandidat capres yang ada sekarang
—semuanya tak lepas dari rezim Orde Baru.
Disinilah yang membedakan Golongan Putih dengan Golongan
Hitam.
Apatisme
Apatisme ala Golongan Putih didasari oleh rasa ignoran dan
absennya kesadaran politik-aktif. Tag-line yang sering keluar dari mulut
Golongan Putih: “Gue jijik/muak/benci politik,” atau, “Gue apolitis” —pada
dasarnya sangatlah kontradiktif. Menjadi ‘apolitis’, dengan sendirinya adalah
sebuah pilihan yang politis.
Sama halnya dengan daya beli konsumen adalah pilihan yang
politis. Contoh gampangnya adalah: Cabai. Saya akan memakai sedikit imajinasi
dan pengandaian disini.
Jika semua konsumen di Pulau
Urban memilih untuk tidak membeli cabai-cabai yang diproduksi dari Pulau Cabai dan lebih memilih
sambal-sintetisnya PT. Karainomoto,
maka para petani yang menumbuhkan cabai tersebut tak bisa menjual hasil
panennya. Supply-Demand pada dasarnya. Maka para petani cabai pun kehilangan
mata pencahariannya dan mungkin kepunahan cabai asli Pulau Cabai.
Jadi pada intinya, semua pilihan kita adalah pilihan yang
politis.
Sementara itu di lain pihak, pilihan para Golongan Hitam untuk tidak memilih didasari
bukan oleh apatisme terhadap apa yang terjadi pada Indonesia. Tapi atas
kesadaran bahwa memilih tak akan mengubah apa-apa. Dan bahwa ada cara lain
untuk mengubah kondisi kita sekarang, salah satunya adalah dengan cara
Bottom-Up tadi. (Tentu perlu diingat, yang saya sebut sebagai Golongan Hitam
belum tentu memiliki visi, cara, dan aspirasi yang sama —jadi belum tentu punya
opini yang sama tentang Bottom-Up.)
Keputusasaan terhadap
para Kandidats Gendats
Mari kembali kepada kandidat-kandidat capres 2014. Kandidat
yang populer, kecuali Jokowi dan mungkin beberapa yang lain, adalah penerusan
dari rezim Orde Baru Soeharto. Susah sekali rasanya untuk tidak berpikir bahwa
Pemilu yang berikut ini bukanlah ajang rebutan kekuasaan para elit lama. Apakah
kita harus tetap denial dan tetap memilih? Bahwa memilih yang paling tidak
salah dari pilihan-pilihan salah adalah keputusan yang bisa kita ambil?
Lalu apa bedanya antara pemilih in-denial dengan Golongan Putih? Saya rasa tak ada. Pemilih in-denial memutuskan untuk memilih
kandidat yang ada karena rasa putus asa terhadap capres-capres tersebut. Secara
tak langsung, Ia mengatakan bahwa kita harus dependen kepada para Pemimpin (baca: para Elit) —meskipun pemimpin-pemimpin tersebut salah semua
dan tak ada yang bisa mewakili aspirasi kita. Dan dengan rasa putus asa
tersebut, kita harus memilih yang “paling tidak salah” dari semuanya.
Disinilah Golongan Hitam berdiri dan menancapkan bendera
hitamnya. Bahwa ada cara selain terus terbawa sistem yang sudah ada sebelumnya.
Dan itu dimulai dari kesadaran untuk tidak memilih —tanpa menjadi apatis
terhadap yang terjadi. Sebuah bentuk civil disobedience.
Saya sendiripun merasa, Golongan Hitam juga terjebak dalam
rasa keputus-asaan. Karena yang mereka bisa berikan untuk membawa perubahan,
kebanyakan hanya berskala kecil —jika dibandingkan akumulasi power para elit dengan wewenangnya dalam
membuat policy dan mengatur kuasanya.
Tapi diatas rasa putus asa tersebut, Golongan Hitam mengajak
agar kita berhenti terbuai ilusi para elit, berhenti memilih dalam denial,
berhenti untuk menjadi apatis. Untuk menampar muka kita sendiri dan melihat apa
yang sebenarnya terjadi.
Tentunya, anda para pembaca bisa menyadari bahwa tulisan ini
didasari oleh rasa putus asa dan pengandai-andaian yang berlebihan. Utopian dan
tak masuk akal. Tapi jika menjadi masuk di akal adalah tetap ignoran dan
menutup mata atas apa yang sebenarnya terjadi, bukankah menjadi tak masuk akal
lebih baik?
Dalam analisis yang ditulis oleh AE Priyono, dipaparkan
lebih jelas bagaimana jumlah suara golput dari tahun 1999 sampai 2009 terus
bertambah dan selalu menang dalam pemilu. Silahkan dilihat dan dibaca disini: http://indoprogress.com/2014/02/golongan-putih-dari-alienasi-ke-oposisi/
No comments:
Post a Comment