Semakin banyak sekali video-video pendek yang beredar di
internet —yang mampu menyentuh, mendorong, dan menendang sedikit kesadaran
kita. Entah itu berbentuk inspirasional, semacam video ala “TEDx” misalnya,
dimana perempuan terjelek di dunia
berbagi kisah mengharukannya.
Atau video-video yang saya label sebagai video #SaveSomething —dimana biasanya memakai formula: kalau [masalah ini yang hanya mungkin terjadi
tempat-tempat ini] kita simulasikan untuk terjadi pada [orang-orang yang
demografinya adalah target audiens yang tak kena dampak] atau vice-versa.
Seperti video #SaveSyriaChildren, #SaveWater, dan #Save-SaveLainnya.
(Trivial: sepertinya terutama untuk video-video #SaveSomething, tampaknya menarik untuk di baca dengan kacamata class-struggle. Adakah yang bersedia?)
(Trivial: sepertinya terutama untuk video-video #SaveSomething, tampaknya menarik untuk di baca dengan kacamata class-struggle. Adakah yang bersedia?)
Yang saya cermati dan rasakan akhir-akhir ini adalah,
munculnya Mati Rasa? Saya tak tahu
apakah anda tidak merasakannya, atau, tidak tahu kalau merasakannya juga.
Dengan alasannya masing-masing, kita buka link video-video tersebut saat kita menemukannya di social media. Sembari tonton, hati kitapun tersentuh dan tergerak untuk melakukan sesuatu —diawali dengan mengklik ‘Like’ lalu diakhiri dengan ‘Share’. Mengajak lebih banyak orang lagi untuk melihat video tersebut dan mengenal cause yang video-video tersebut ingin sebarkan (atau secara tak sadar mungkin kita menganggap bahwa dengan menyebarkan video-video tersebut adalah kita bisa berkontribusi —setidaknya dalam kadar ‘paling tidak’).
Siklus yang sama berkali-kali setiap kali kita menemukan
video-video baru lainnya: Klik linknya—tonton dan
terinspirasi/tersentuh/tersentak—sebarkan lagi—lalu menemukan lagi link video
yang lain entah kapan—dan terus terulang lagi siklus yang sama.
Sampai rasanya
menjadi “terinspirasi, tersentuh, atau tersentak” jadi tak berarti lagi.
Tak salah untuk pembuat video-video tersebut menyebarkan
misinya tentu saja. Dan tak salah juga kita sebagai audiens pasif-menjadi-aktif
untuk mengkonsumsi video-video tersebut dan membantu menyebarkannya.
Tapi entah mengapa tercium sedikit hypocrisy. Mengingatkan saya pada ucapan Oscar Wilde pada teks
politiknya, The Soul of Man Under
Socialism:
“… it
is much more easy to have sympathy with suffering than it is to have sympathy
with thought.”
Yang Wilde ingin sampaikan pada sajak tersebut, menurut
Slavoj Zizek, adalah kita sebagai sebuah society seringnya menghancurkan dengan
tangan kiri apa yang kita bangun dengan tangan kanan.
Gambaran sederhananya seperti berikut: dalam lingkaran yang
sama kita mendonasikan “roti” kepada Mereka yang tak bisa makan. Padahal produksi
roti tersebut adalah alasan utama mengapa mereka tidak bisa makan dan harus
hidup melarat (misalnya pabrik roti tersebut mengambil lahan tanah tempat mata pencaharian
hidup Mereka secara cuma-cuma sampai habis).
Bahwa kita membutuhkan perombakan yang lebih masif yang
bukan sekedar ‘paling tidak’.
Disambungkan dengan fenomena video-video #Save tersebut,
seolah-olah bukannya aktif, kita sebagai audiens justru menambah kepasifan kita
terus memutar lingkaran “roti” tadi.
Hal tersebutlah yang membuat saya sadar adanya dilema.
Apakah kita harus sampai pada titik dimana kita Mati Rasa, lalu baru bertanya apakah kita membutuhkan perombakan
yang lebih radikal —jika memang kita ingin #save Mereka—daripada sekedar terus
menerus memutar lingkaran dan siklus tadi?
Tentu perombakan yang total pada sistem tak akan terjadi
dalam semalam. Yang bisa terjadi adalah perombakan pada inti individual-individual
yang ada di dalamnya.
Dan mungkin Mati Rasa
adalah proses pertama dari perombakan tersebut.
Keren...tulis dong Pos, mengenai fenomena "clicktivism", komodifikasi, dan mampusnya perjuangan kelas, heheheh.
ReplyDelete#PrayforSomething juga sudah terlalu common, seolah-olah kita memang peduli akan sesuatu hanya dengan mengajak teman2 kita untuk berdoa lewat hashtag #prayfor
ReplyDelete