“Masa kini lahir dari rahim masa lalu”
Sebuah ungkapan yang saya dengar saat saya berada di sebuah kedai di bilangan Pejaten.
Logikanya sederhana—kita semua sudah tahu dan mengerti
artinya dari awal tanpa harus menemukannya dalam bentuk ungkapan, quotes, atau kalimat-kalimat
motivasional bijak ala ‘Jalan Keemasan’ yang teguh.
Dan itulah mungkin yang kita, sebagai sebuah kesadaran
kolektif, masih terus tak bisa selesaikan. Kita masih bergulat dalam pikiran
kolektif kita, mencari pembenaran, kebenaran, dan keadilan atas masa lalu kita
bersama.
Seperti bayi yang setelah lahir mencari tahu siapa ibunya.
Mencari mengapa dan bagaimana Ia bisa terlahir menjadi seperti dirinya
sekarang—mencari akarnya.
Namun sang bayi juga tentu harus sadar. Bahwa dengan lahir
berarti Ia juga ‘memisahkan’ diri dari sang rahim yang melahirkannya.
Saya lahir sebagai bagian dari generasi yang sering mereka
sebut sebagai generasi Millenial. Generasi yang lahir seiring dengan salah satu
perubahan di dalam sejarah Indonesia.
Yang tak turut serta membuat perubahan di saat itu; yang tak
bisa yakin apakah merasakan perubahan-perubahan yang muncul atau tidak.
Udara yang kami hirup mungkin sudah berbeda dengan kalian, generasi
sebelumnya—dan perubahan yang kalian bangun pun kita hirup mentah-mentah dari
udara. Mungkin dibanding yang sebelum-sebelumnya, kamilah yang paling ‘terima
jadi’.
Sedikit dari kami yang tahu soal 1965 jika tidak ada ‘The
Act of Killing’. Sedikit dari kami yang tau soal mereka yang hilang, jika bukan karena musik-musik
kontemplatifnya Efek Rumah Kaca. Sedikit dari kami yang tahu, bahkan mencari
tahu siapakah mereka elit-elit yang kita anggap sebagai ‘pemimpin’ —yang selalu
memakai hak suara kita semua sebagai properti-properti panggung kekuasaan
mereka.
Karena mungkin, di satu sisi, kami hanya terkena ampasnya.
Ampas dari apa yang kalian pernah lalui. Kami pun tak pernah benar-benar merasa
terikat dengan apa yang kalian selalu ingin tolak untuk lupa. ‘Menolak Lupa’
menjadi sebuah inisiatif yang kami setengah hati untuk berkecimpung di
dalamnya. Diantara kamipun yang ikut menyuarakannya, jatuhnya seperti anak
kemarin sore yang sekedar ‘ikut-ikutan’.
Masalah kita adalah masalah lama; masalah sejarah yang belum
ada juga progresnya. Dengan para aktor-aktor panggung politik sekarang yang
masih didominasi oleh pemain-pemain lama. Mereka yang menjadi bagian dari perlawananpun
(seperti inisiatif semacam Menolak Lupa) tak “beda” dengan apa yang mereka
lawan — dua sisi dari satu koin sejarah yang tidak berprogres.
Dan apa yang kalian bisa petik dari generasi kami tentang
hal tersebut?
Bahwa kami adalah generasi yang kosong. Kami tidaklah yang
lama, tidak juga yang baru.
That we’re not a part of those who’re against the old establishment.
Yet, we’re not them neither—who goes for something new.
Kami bukanlah bagian dari yang ingin meruntuhkan tiang
fondasi lembaga-lembaga yang sudah busuk. Kami juga bukan bagian dari Mereka yang
akan membangun fondasi-fondasi yang baru —yang akan meneriakkan kepada yang
sebelum-sebelumnya: ‘persetan kalian semua!’ dengan lantang sembari menancapkan
tiang-tiang baru tersebut.
Mereka, yang akan
memutuskan tali pusarnya tanpa mengacuhkannya. Mereka yang menolak untuk
Menolak Lupa —yang bukan berarti tidak paham akan rahim masa lalunya. They, who’ll bring themselves up not against something, but to
go for something—something new, something
else, and better.
Catatan ini bukanlah ajakan untuk membenarkan
kejahatan-kejahatan yang sudah dilakukan di negeri kita. Kejahatan yang ingin
dilawan oleh kalian yang menolak untuk lupa.
Catatan ini hanyalah gambaran tentang raungan ‘gema–dari–gema’
yang kosong yang mengisi sejarah kita saat ini.
Sebuah catatan dari generasi yang tak bernama.
10 Mei 2014
No comments:
Post a Comment