Salahkah untuk mempertanyakan hal-hal yang telah kita terima dengan mentah-mentah?
Awalnya, cukup dengan rasa muak.
Muak, juga capek, dengan menjadi seseorang yang punya 'Agama yang paling benar'.
Terlepas dari apakah saya penganut yang taat yang menjalani aturan-aturan dari agama tersebut atau tidak. Premisnya adalah 'Agama saya adalah yang paling Benar'.
Dan seringnya pemikiran tersebut membuat pandangan kita terhadap yang 'lain' menjadi... sedikit... Entahlah. Saya tak bisa menemukan kata yang cukup tepat dan sopan untuk menjelaskannya.
Sering saya berada di posisi dimana sekeliling saya merendahkan yang 'lain' dan saya tak bisa berkata apa-apa tanpa, mungkin, melukai perasaan orang-orang di sekeliling saya tersebut.
Merendahkan, karena walau tanpa bermaksud begitupun, dengan berada di posisi paling Benar maka yang 'lain' pun secara otomatis menjadi Salah atau paling tidak hampir Benar.
Sampai di poin dimana berada di posisi 'paling benar' menjadi memuakan.
Saya mulai berandai-andai:
jika kita adalah komputer dan agama adalah sebuah software. Software yang kita pakai untuk mengerti dunia ini dan cara kerjanya: purpose, awal dan akhir, surga-neraka, pahala-dosa.
Dan jika kita menghapus software tersebut —reboot ulang cara kita memahami semuanya.
Apakah kita tidak bisa tetap menjadi insan yang baik? Yang berbuat baik kepada sesama tanpa mengharapkan imbalan seperti surga atau menghindari berbuat buruk karena terancam oleh neraka?
Dan jika seandainya 'the Grand Narrative' atau 'Truth' dengan huruf 't' kapital memang tidak ada benarnya, apakah kita bisa menerima dengan dewasa dan menjalani hidup untuk saat ini apa adanya tanpa janji-janji/ancaman afterlife?
(Mungkin pertanyaan selanjutnya dari 'jika tak ada Truth dan afterlife' tersebut adalah pembenaran untuk pengabdian total kepada egoisme, jika bukan altruisme)
Bahwa mungkin surga dan neraka, jika memang benar adanya, bukanlah sedangkal sebuah 'tempat'. Bahwa pahala-dosa bukanlah semacam sistem poin, dimana jika kita melakukan A maka kita mendapat poin plus dan begitu sebaliknya dengan dosa.
Seorang kawan dekat pernah berbagi kepada saya sedikit bagian dari buku yang dibuat oleh Ayahnya untuk dia dan keluarganya:
"Most of people, most of the time, tend to act with intent. But universe doesn't act with intent. Goodness has no motive because all motives are based on Ego. So, you don't need to expect your kindness repaid by others. Good should just be done simply because it is good."
semoga semua tuhan-tuhan yang ada di bumi memberkati orang-orang sepertinya.
Saturday, December 28, 2013
Wednesday, October 30, 2013
Cre·scen·do: increase in loudness or intensity
Everyone has their own “that empty void” phase.
Around their early 20s or even before that, from what I heard and observed. A friend said, possibly because that’s the time when teenagers turn into adults.
Around their early 20s or even before that, from what I heard and observed. A friend said, possibly because that’s the time when teenagers turn into adults.
Not exactly adults, actually, more like young adults.
It’s that transition in between both of the stage. Having
the best and the worst of both worlds.
The time when we started to see things are not what it seems to be. Where for most of us, it's the time where we start to choose where we stand. To know what do we like or not and enjoys every small revelation that brings us to a deeper understanding of who we are.
The time when we started to see things are not what it seems to be. Where for most of us, it's the time where we start to choose where we stand. To know what do we like or not and enjoys every small revelation that brings us to a deeper understanding of who we are.
Yet, some falls into
this, dark and cold void, during their search for the ‘self’.
The picture, the image, of this phase isn’t only ‘void’-like.
I’d like to illustrate it in another way:
Imagine a nuclear bomb, exploding inside an unbreakable, super-flexible super stretching vessel. As it explodes in an enormous blow but the vessel keep stretching and bouncing back in an endless loop, because there’s no where for the heat and pressure caused by the explosion to go out.
It gets worst and worst. You keep questioning all things.
How come? Why? And again, why? And when you find the answer or possible
solutions, the whole world with a smirk on its face would just say ‘Be
realistic’, ‘that’s utopian’, ‘you can’t even clean your own room up, now
you’re thinking to save the whole planet?’ and so on.
And there you are, sitting inside the classroom. Thinking
with a fully repressed rage, how wasteful the things that they teach there. Waste,
not only because you don’t like it, as you try to understand the subject it
doesn’t make sense to you: isn’t relatable or says something to do with the
horrific condition in the world out there. Out-dated. Unprogressive. Dogmatic.
Your mind is as crowded as the crowd in the back who’s having judgmental conversation about some guy or girl who can’t please them.
Your mind is as crowded as the crowd in the back who’s having judgmental conversation about some guy or girl who can’t please them.
And how come no one even stand up and question what that old
man is saying, you asked to yourself. You tried to make a dialogue with
theoldman. Dialogues that no one understand, even the old man.
They think you’re crazy.
Not.
They just think you’re one of those ‘teacher’s pet’ who always looking for grades and look active in class.
They think you’re crazy.
Not.
They just think you’re one of those ‘teacher’s pet’ who always looking for grades and look active in class.
So you’ve fallen deeper into this void.
Deeper.
You now know how fucked up the world is.
Deeper.
With all the killings.
Deeper.
The bullets.
Deeper.
The dead bodies.
Growth.
Headless father, crying children.
Incentives.
GDPs.
Bigotry.
Slogans, isms, and patriotic pride.
Deeper..
And that your happy peaceful life NOW
was made possible
and indirectly responsible for
every
single
child and mother who got raped
and their fathers with bullets in their head
on the other side of the map
And you don’t KNOW about it.
Deeper…
And there’s nothing that you can change about all that.
You stopped there.
Before you go deeper through that tunnel that seems will
never end.
You choose to climb again.
With a different understanding, ways of seeing.
Neither forget nor ignore. But with that weary smile of an
old white haired, you embraced it. That the world is fucked, the people are,
and so are You.
Not to do nothing or only whine. You embraced the poetry
inside it. You want to grasp all that beauty, the Graced, the accepting self-less
smiles that are unseen because of the fog of our morbidity.
And you pray, for them who suffered. The doomed. The
children. The mother. The closeted. The misfits.
To who you’re not sure. Certainly, you never pray but for
only once.
To who you asked that prayers, you don’t know. But you know
that you asked, to make every single breath you drew, becomes a prayer for
them.
And now that you came up into a different phase, you started
to worry yourself. You worry if you lose the reason to dig, to search, to ask ‘Why?’
Even though you are sure that the void is still there.
As long as there are suffering out there.
It also makes you wonder, could it be that the world is made
of suffering?
And… don’t it ever came up to your mind, that:
‘The big bang looks like a cosmic teardrop that fell into the floor of empty void space of nothingness’ ?
‘The big bang looks like a cosmic teardrop that fell into the floor of empty void space of nothingness’ ?
Thursday, August 29, 2013
8. Lengkungan
"Ada laki-laki yang tumbuh dengan image Wonder Woman (acara TV jadul) di kepalanya. Ada juga yang dengan Dian Sastro jaman AADC.
Mungkin ada juga yang berkiblat ke Nikita Willy.
Ada juga, yang tumbuh dengan menonton acara tv semacam 'Jejak Petualang'. Mungkin secara bawah sadar, jarang bocah laki-laki suku urban metropolitan bisa lihat perempuan pendaki alam diantara cewek-cewek bertas branded, dress cantik, dan full make-up di muka.
Sebuah ketertarikan tersendiri, melihat indah lengkungan kaum hawa yang sibuk menjelajahi lengkungan-lengkungan alam, seperti lengkungan gunung dan sungai, yang jauh berbeda dari garis lurus kaku persegi gedung-gedung di 'hutan beton' perkotaan.
Ah, tapi.. sungguh pikiran yang patriarkis.
Maafkan kelancangan benak ini, Avianti, Ayu Utami."
Mungkin ada juga yang berkiblat ke Nikita Willy.
Ada juga, yang tumbuh dengan menonton acara tv semacam 'Jejak Petualang'. Mungkin secara bawah sadar, jarang bocah laki-laki suku urban metropolitan bisa lihat perempuan pendaki alam diantara cewek-cewek bertas branded, dress cantik, dan full make-up di muka.
Sebuah ketertarikan tersendiri, melihat indah lengkungan kaum hawa yang sibuk menjelajahi lengkungan-lengkungan alam, seperti lengkungan gunung dan sungai, yang jauh berbeda dari garis lurus kaku persegi gedung-gedung di 'hutan beton' perkotaan.
Ah, tapi.. sungguh pikiran yang patriarkis.
Maafkan kelancangan benak ini, Avianti, Ayu Utami."
7. Perubahan
"Iya, saya punya fetish sama ngekotak-kotakin sesuatu. Pigeonholing, sebut saja. Dari genre musik sampai isme-isme ideologi.
Korban terbaru fetish saya ini adalah teman-teman SMA saya. Saya penasaran sama perubahan-perubahan teman-teman saya yang sedang melewati masa kuliah.
Sejauh ini, saya baru menemukan sedikit kategori-kategorinya: ada yang jadi artis tv. Jadi ateis garis keras, ada. Yang jadi pionir spiritual sufisme, ada. Jadi 'Bapak biasa' pun ada (joke internal).
Yang belum: Jadi ustad, politikus kakap, jadi biksu, preman, gypsie, dst..
Mungkin cuma belum ketemu aja.
Kalau saya sendiri? Berubah dong. Dari bocah dungu jadi kulit kacang. Kopong tanpa isi."
Korban terbaru fetish saya ini adalah teman-teman SMA saya. Saya penasaran sama perubahan-perubahan teman-teman saya yang sedang melewati masa kuliah.
Sejauh ini, saya baru menemukan sedikit kategori-kategorinya: ada yang jadi artis tv. Jadi ateis garis keras, ada. Yang jadi pionir spiritual sufisme, ada. Jadi 'Bapak biasa' pun ada (joke internal).
Yang belum: Jadi ustad, politikus kakap, jadi biksu, preman, gypsie, dst..
Mungkin cuma belum ketemu aja.
Kalau saya sendiri? Berubah dong. Dari bocah dungu jadi kulit kacang. Kopong tanpa isi."
6. Muak-Muak Lucu
"Mau gimana kalau ngerasa muak sama semuanya?
Bayangkan gini, ceritanya kamu muak sama semua yang umum: sistem, pemikiran, dan keadaan sosial yang ada. Lalu kamu cari pelarian dan menemukan yang 'gak umum'.
Tapi sekarang, kamu muak juga sama yang 'gak umum' itu.
Gampangnya gini: Kamu gak suka sama kaum kamu sendiri —yang hedon dan urban itu. Petit bourgeois ibukota.
Terus kamu lari 'cari ASI' ke leftist ibukota. Lalu kecewa dengan sorotan mata 'elitis' mereka.
Sekarang mau lari kemana?"
Bayangkan gini, ceritanya kamu muak sama semua yang umum: sistem, pemikiran, dan keadaan sosial yang ada. Lalu kamu cari pelarian dan menemukan yang 'gak umum'.
Tapi sekarang, kamu muak juga sama yang 'gak umum' itu.
Gampangnya gini: Kamu gak suka sama kaum kamu sendiri —yang hedon dan urban itu. Petit bourgeois ibukota.
Terus kamu lari 'cari ASI' ke leftist ibukota. Lalu kecewa dengan sorotan mata 'elitis' mereka.
Sekarang mau lari kemana?"
5. Disonansi
"Kalau sudah mencicipi dua sisi yang berbeda, mungkin kita akan lebih mengerti dimana tempat kita sebenarnya.
... dan disinilah saya berada. Dunkin Donuts Matraman, membaca buku Si Parasit Lajang, ditemani televisi yang menampilkan acara gosip bertema dangdut: kehamilan berskandal, pernikahan dangdut yang dipersatukan Tuhan, dan tetek bengek per'artis'an.
Sebuah disonansi yang nyata. Buku Parasit Lajang mengajak pembacanya untuk sedikit lebih kritis terhadap kapitalisme patriarkis, sementara televisi disebelah menggemborkan hingar-bingar kapitalisme-kebudayaan —dimana kehidupan pribadi para "artis" menjadi produk yang dijual, dan sementara itu semuanya saya alami di dalam salah satu produk kapitalisme global: Dunkin Donuts.
... dan disinilah saya berada. Dunkin Donuts Matraman, membaca buku Si Parasit Lajang, ditemani televisi yang menampilkan acara gosip bertema dangdut: kehamilan berskandal, pernikahan dangdut yang dipersatukan Tuhan, dan tetek bengek per'artis'an.
Sebuah disonansi yang nyata. Buku Parasit Lajang mengajak pembacanya untuk sedikit lebih kritis terhadap kapitalisme patriarkis, sementara televisi disebelah menggemborkan hingar-bingar kapitalisme-kebudayaan —dimana kehidupan pribadi para "artis" menjadi produk yang dijual, dan sementara itu semuanya saya alami di dalam salah satu produk kapitalisme global: Dunkin Donuts.
***
Baru-baru ini saya mencicipi dua dunia yang 'berbeda'. Dunia yang pertama, adalah dunia yang diisi oleh pionir-pionir jurnalisme yang menjunjung tinggi multikulturalisme di dalam Indonesia. Bahwa narasi umum "Jawanesia" perlu diteliti ulang —bahwa Indonesia bukanlah Jakarta dan Jawa saja. Analisa dengkulan saya menangkap bahwa di 'dunia' ini mereka mengkaji 'Low Culture' (budaya keseharian, bukan rendahan) yang bermanifestasi dalam narasi politik, bahasa, dan identitas. Kesan orang-orang yang didalamnya pun, intelektual-intelektual yang sederhana.
Sementara 'dunia' yang kedua, dipenuhi dengan hingar-bingar 'High culture' —budaya modern (ini definisi terlewat dangkal sebenarnya), seperti seni yang bisa kita temukan didalam galeri, atau segala budaya yang berbau urban dan modern. 'Dunia' inipun, diisi oleh manusia-manusia urban ibukota.
Sekarang, saya semakin mengerti dimana 'tempat' saya sebenarnya. Aneh memang, sekeras apapun kita meyakinkan diri kita untuk anti kepada konformitas sosial, tetap saja kita butuh sebuah 'tempat yang nyaman'.
***
Masih, saya duduk didalam Dunkin Donuts Matraman. Sembari menulis, TV disebelahpun beralih dari acara gosip menjadi 'Laptop Si Unyil'.."
4. Ego
"Entahlah. Mungkin saya terlalu hidup nyaman.
Mungkin saya terlalu cepat memutuskan bahwa, mereka yang saya anggap dangkal itu, dangkal.
Mungkin mereka hidup di dalam situasi yang jauh dari standar nyaman saya.
Dan lupa bahwa saya sendiri tak beda dangkalnya."
Mungkin saya terlalu cepat memutuskan bahwa, mereka yang saya anggap dangkal itu, dangkal.
Mungkin mereka hidup di dalam situasi yang jauh dari standar nyaman saya.
Dan lupa bahwa saya sendiri tak beda dangkalnya."
3. Kulit Kacang
"Kamu itu siapa?
Seniman bukan. Musisi bukan. Ekonom bukan. Ilmuwan sosial bukan. Entrepreneur bukan. Ahli bahasa bukan. Penulis juga bukan.
Bukan apa-apa.
Mungkin kamu cuma manusia kulit kacang.
Punya banyak kulit-kulit kacang tapi gak ada yang ada isinya: kacangnya itu sendiri.
Dangkal.
Lapis luar doang."
Seniman bukan. Musisi bukan. Ekonom bukan. Ilmuwan sosial bukan. Entrepreneur bukan. Ahli bahasa bukan. Penulis juga bukan.
Bukan apa-apa.
Mungkin kamu cuma manusia kulit kacang.
Punya banyak kulit-kulit kacang tapi gak ada yang ada isinya: kacangnya itu sendiri.
Dangkal.
Lapis luar doang."
2. —
"Entah mengapa saya punya kecenderungan untuk menyukai penulis-penulis depresif-suicidal yang ujung-ujungnya membunuh diri mereka sendiri. Sebutlah diantaranya Ryunosuke Akutagawa dan David Foster Wallace.
Mereka, mungkin, jika dikonversikan tulisan-tulisan mereka menjadi kanvas, akan dipenuhi dengan abu-abu. Abu. Abu. Kelabu.
Mungkin, walau rasanya tak begitu, mereka bisa melihat keindahan dalam kebobrokan-kerusakan-kebodohan kita para manusia modern.
Atau mungkin lebih tepatnya mereka sudah muak saja dengan semua itu."
Mereka, mungkin, jika dikonversikan tulisan-tulisan mereka menjadi kanvas, akan dipenuhi dengan abu-abu. Abu. Abu. Kelabu.
Mungkin, walau rasanya tak begitu, mereka bisa melihat keindahan dalam kebobrokan-kerusakan-kebodohan kita para manusia modern.
Atau mungkin lebih tepatnya mereka sudah muak saja dengan semua itu."
1. Beban Moral
"Hari ini saya bertemu dengan, lagi-lagi, orang-orang yang membuat saya terbengong-bengong sapi ompong - namun bahagia.
Orang-orang yang membuat saya seolah seperti manusia terdungu, yang entah karena tidak pernah membuka inderanya, atau tak pernah membuka diri pada dunia —dan stuck pada ignoransi, atau dua-duanya.
Orang-orang yang bisa mengembalikan harapan dari bodoh-bodohnya kita, manusia.
Semoga semua tuhan-tuhan yang ada di muka bumi memberkati mereka."
Orang-orang yang membuat saya seolah seperti manusia terdungu, yang entah karena tidak pernah membuka inderanya, atau tak pernah membuka diri pada dunia —dan stuck pada ignoransi, atau dua-duanya.
Orang-orang yang bisa mengembalikan harapan dari bodoh-bodohnya kita, manusia.
Semoga semua tuhan-tuhan yang ada di muka bumi memberkati mereka."
Kata-Kata Shu Ju
...dari "Lukisan Neraka" Ryunosuke Akutagawa
"Kehidupan itu lebih bersifat neraka daripada neraka itu sendiri"
"Kehidupan itu lebih bersifat neraka daripada neraka itu sendiri"
Jakarta Agustus-September 2013
Berikut adalah tulisan-tulisan pendek yang saya tulis di buku catatan kecil yang saya bawa kemana-mana selama di Jakarta liburan musim panas ini. Silahkan buang jika tak sampai di hati
Tuesday, August 13, 2013
Pulang dengan Tangan Kosong, Hati yang Penuh: Kedai Lentera dan Jeff Buckley
Tahu perasaan ekstasi super exciting kayak waktu kita
menemukan tempat super keren? Bukan karena tempatnya super ‘wah’ atau gimana.
Tapi karena orang-orang ditempatnya atau cerita yang berputar di balik tempat
tersebut.
Baru tiga-empat kali saya berkunjung ke Kedai Lentera.
Selalu, tempat itu mengejutkan saya dan selalu bikin saya pulang dengan
bahagia. Di Kedai, saya menemukan orang-orang yang juga suka dan lebih ahli
dengan hal-hal yang saya suka, di konteks ini tentang ethnicity, budaya, dan
dunia.
Pernah bertemu sama orang yang suka hal yang sama dengan
kita, tapi saking mereka lebih ahlinya, kita sampai ngga ngerti apa yang mereka
omongin? Karena level mereka lebih tinggi daripada kita dan kita cuma bisa
bengong sapi ompong tapi bahagia dengerinnya.
Itu yang saya temuin di Kedai Lentera.
Terakhir kali saya ke Kedai Lentera (beberapa hari yang
lalu), saya berniat membawa teman saya yang berasal dari Jepang kesana untuk
ngobrol dengan pemilik Kedai Lentera. Kebetulan, teman Jepang saya itu seorang
‘nasionalis NKRI’ dan lagi bikin thesis tentang Indonesia paska-Soeharto.
Sementara si pemilik Kedai, saat saya berkunjung ke Kedai beberapa waktu
sebelumnya, bilang kalau ada film lawas tentang tentara Jepang yang membantu
orang Indonesia dalam merebut kemerdekaan, dia juga bilang tentang beberapa hal
berhubungan dengan Jepang dan
kemerdekaan Indonesia yang tidak tertulis dalam sejarah mainstream Indonesia.
Saya pikir, pas banget kalo mereka bisa ngobrol!
Tapi tampak jodoh belum bertemu, sang pemilik Kedai kebetulan
sedang juga kedatangan tamu dari tempat yang jauh dan sang turis Jepun juga
harus pulang cepat malam itu. Pertemuan yang mungkin bisa menjadi perbincangan
yang menarikpun batal terjadi.
Si turis Jepun dan beberapa teman lain pulang, saya dan satu
teman lagi tetap tinggal, bertukar kata setelah sekian lama tak jumpa.
Sering kali, kalau lagi pelesiran atau ngebolang entah
kemana, saya selalu berharap bisa ketemu orang random, berbincang tentang
hal-hal yang tidak bisa dibicarakan sehari-hari, menemukan pengalaman sederhana
yang menyentuh hati dari orang-orang tersebut.
90% nya, saya gagal menemukan ‘pengalaman’ tersebut.
Tapi malam itu adalah 10%nya. Lagi-lagi, Kedai Lentera
mengejutkan saya.
Di tengah-tengah obrolan saya dengan teman saya itu, tiba-tiba
saya dengar suara lengkingan khas.
Lagu Grace.
Jeff Buckley.
Serentak saya dan teman saya bersorak ria. Penasaran, saya
bertanya ke orang yang lagi jaga kasir dan ternyata benar, dia yang pasang lagu
tersebut. Kami akhirnya beranjak dari kursi dan nyamperin si penjaga kasir.
Saya bahkan sengaja minta salaman dua kali buat kenalan sama
dia, yang ternyata adik dari pemilik Kedai (tapi bukan yang ingin saya temukan
dengan si teman Jepun, ada satu lagi pemilik Kedai). Soalnya, bener-bener
bener-bener sedikit sekali orang yang suka sama Jeff Buckley. Ini bukan
persoalan hipster dan musik keren yang jarang orang dengar.. Musik,
ujung-ujungnya pasti cuma masalah selera, akumulasi situasi pengalaman dan
perasaan sang pendengar saat bertemu dengan musik tersebut, dan relatedness
musik tersebut dengan diri si pendengar saat itu.
Untuk saya, musiknya Jeff Buckley adalah contoh terkonkrit
dari teori tersebut.
Akhirnya, setelah kita bertukar nama, kita duduk bareng
(didepan meja kasir) dan bertukar pengetahuan tentang band-band favorit
sejam-dua jam. Bergantian kita memasang lagu-lagu dan ngobrol ringan
menyenangkan.
Malam itupun saya pulang dengan perasaan sederhana-bahagia
—‘pengalaman’ yang jarang saya temukan.
Oh ya, saya bukan buzzer (seperti banyak di twitter) yang ngepromosiin Kedai Lentera.
Ini benar-benar pengalaman personal. Mungkin kalau anda datang kesana tidak
akan merasa sama dengan saya.
Tapi tidak salah juga sharing tentang Kedai Lentera, mungkin
anda malah meng-experience tempat itu dengan lebih ‘wah’ daripada saya. Jadi
silahkan dicoba, Kedai Lentera berlokasi di Jl. Sawo Manila No. 10, Jati
Padang, Pasar Minggu. Dekat sekali dari Universitas Nasional dan Pejaten
Village.
Semoga berguna J
Wednesday, July 24, 2013
2014
2014.
Tampaknya akan menjadi tahun yang ‘menarik’, terutama di
Jakarta. Paling tidak, sampai 2-3 tahun setelahnya akan tetap begitu. Buku-buku
distopia yang pernah anda bacapun nanti tak akan sia-sia di pojokan rak buku
anda.
2014 akan menjadi tahun pemilihan presiden berikutnya, yang
akan menjabat selama 2014-2019. Lagi-lagi, kandidat-kandidat dari calon
presiden yang mencalonkan diri untuk pempres nanti terdiri dari muka-muka lama
—seolah hantu dari orde baru masih saja tak melepaskan diri.
Berbagai isu yang terjadi akhir-akhir ini, seolah memberikan
sedikit sneak-peek menuju Indonesia 2014 nanti. Saya rasa, semua orang sudah
tahu tentang FPI dan isu-isu yang diramaikannya. Dari soal siraman teh sampai
meninggalnya warga yang tertabrak mobil sweeping FPI. Semua orang juga tahu,
apa yang kita proteskan ke ‘negara’ dan kita juga tahu bahwa suara kita tak akan pernah didengar.
Tapi sudah kadaluarsa rasanya untuk tetap menghadapi dan
melihat FPI sebagai sekedar ‘grup garis keras’ —fundamentalis akar rumput yang
kelewat ‘keras’, dan berserah kepada mekanisme pertahanan kita dengan berpikir
‘Islam mereka ngawur, tidak seperti Islam kita. Islam kita cinta damai’.
Ada cara lain dalam memandang persoalan ini. Baiknya, kita hindari cara berpikir “siapa yang paling
benar” ini, terutama secara teologi, karena tidak akan berujung pada
penyelesaian (sementara di belakang, teman-teman yang ateis menertawakan kita
yang beradu ayat hanya untuk melakukan hal yang benar).
Kita tidak bisa sekedar menyalahkan persoalan FPI sebagai grup
yang ‘keras’ saja. Persoalan ‘grup fundamentalis’ lebih rumit dari sekedar
sekelompok orang yang memiliki pandangan agama yang kelewat keras. Ketika
membahas grup garis keras, kita harus juga melihat dari sisi sejarah, ekonomi,
dan sosial dari bagaimana terlahirnya grup-grup tersebut.
Tapi yang ingin saya umbarkan disini bukanlah tentang latar
belakang FPI.
Saya hanya ingin menyatakan ketakutan saya.
2014 dipenuhi oleh calon-calon presiden yang merupakan
produk orde baru. Dimana dua calon tersebut adalah petinggi militer yang
berkecimpung langsung dalam kejadian-kejadian dipuncak orde baru.
Prabowo dan Wiranto.
Jujur saja. Ini bukanlah tulisan yang objektif. Sebagaimana
tidak ada yang namanya jurnalisme yang objektif. Walau ini tidak layak dihitung
bagian dari jurnalisme, yang pasti tulisan ini subjektif. Subjektif pol-polan.
Dua hal yang saya
takutkan yang mungkin berdampak dari isu FPI ini yang mungkin akan mempengaruhi
pempres 2014 nanti:
Dibuatnya undang-undang yang melarang ormas (organisasi
masyarakat). Yang tak langsung juga akan membunuh kebebasan berpikir dan
berbicara bagi masyarakat. Tak cukupkah ruang publik yang telah direnggut oleh
pemerintah semenjak 1965 saat mereka memberantas PKI? Dengan kondisi kita sekarang
(di Jakarta), dimana taman dan ruang publik dimana orang-orang bisa berkumpul
dan bertukar pikiran, beraktifitas dan berbagi aspirasi, telah ditiban dengan
berpuluh-puluhan Mall. Apakah kita menginginkan kembalinya otoritas tangan besi
yang dengan senang hati membungkam pikiran dan suara kita?
Sekarang saja suara kita tidak pernah didengar. Bagaimana
nanti? Kalau berkumpul dan bertukar pikiran saja kita bisa dipenjara.
Hal lain yang ditakutkan adalah tentunya, dengan gamblang
dan lancang, adalah kembalinya sosok otoriter yang mengambil alih kursi
kepresidenan 2014 nanti.
Gejala Neo-Soehartoism, sebut saja, yang dimana masyarakat
ketakutan dengan segala kekerasan yang dilakukan grup sipil (non-state) dan mengelu-elukan kepemimpinan tangan besi
yang bisa menyediakan ‘keamanan’. Rindu akan sosok Bapak yang tersenyum yang
melindungi kita semua.
Ya tuhan..
Hanya butuh sosok musuh, untuk menyatukan kita semua. Coba
tengok Al-Qaeda yang terus samar —semua bisa jadi Al Qaeda. Mungkin besok,
tahun depan, mungkin di utara, selatan, mungkin ibu anda, selingkuhan anda,
atau siapapun —semua tergantung agenda sang penguasa yang mengaku pahlawan.
Tak perlu jauh liat ke negara seberang, kita pernah
melakukan hal yang sama dengan PKI. Tak perlu jauh lihat kebelakang sejarah,
kita melakukannya sehari-hari.
Kita berbaku hantam dengan SMA sebelah ketika mereka
terlihat lebih nyolot. Kita memusuhi
etnis lain ketika mereka lebih kaya secara ekonomi.
Tapi kita bersatu ketika tim sepak bola kita bertanding
dengan Malaysia!
Untuk negara mengeksekusikan ‘power’ mereka, tentu lebih
mudah jika ada ‘musuh bersama’. Kita berhasil melakukannya di 1965 dengan PKI.
Tidak menutup kemungkinan, modus yang sama akan dipakai nanti.
Dengan memaraknya kerusuhan yang dibuat oleh organisasi
kemasyarakatan semacam FPI, demand untuk keamananpun meningkat. Ketakutan kita
terhadap grup garis keras akan diseimbangi oleh proposal atau janji yang
menawarkan keamanan. Yang mungkin akan ditawarkan oleh pihak yang secara
struktural memegang keamanan (..baca: senjata) negara.
Dan hal tersebut bisa berujung kepada pemenjaraan pikiran dan ekspresi yang dikebiri, semua atas nama 'keamanan' palsu.
Tulisan ini tidak lebih dari asumsi, bukanlah prediksi, dan
hanyalah kegelisahan hati saya.
Saya pikir, 2014 akan menjadi awal dari periode baru yang
menarik, yang penuh akan masalah yang memuncak, kerusuhan, dan akan menjadi
periode dalam sejarah yang cukup menantang.
Untuk itu, sampai 2014 nanti, selamat menikmati setengah akhir
2013!
‘Menuju Indonesia Distopia 2014’
Sunday, June 9, 2013
Transparan Berwarna
Seorang kawan yang cukup sering menukar pikirannya dan
mengajari saya tentang banyak sekali hal, yang seringnya hal-hal tersebut
sangatlah transparan padahal sangat nyata dan eksis disekitar kita, memberikan
saya sebuah link youtube pidato di kelulusan sebuah universitas di Amerika,
oleh penulis bernama David Foster Wallace. Judul pidatonya itu adalah “This is
Water”.
Di dalam pidatonya, kita bisa menemukan banyak sekali
poin-poin menarik tentang kehidupan dan cara berpikir, yang sangat filosofis
namun tanpa menjadi elitis; dalam dan intelektual namun rendah hati sekaligus
membumi.
Untuk bagian dimana dia menjelaskan semua itu, silahkan
ditonton dan diresapi sendiri :) Di tulisan ini saya ingin mengoceh hanya tentang
bagian spesifik dari pidatonya David Foster Wallace itu.
Di pembukaan pidatonya, DFW menggunakan sebuah analogi,
perbincangan antara ikan-ikan didalam aquarium. Dimana ketika seekor ikan yang
lebih tua bertanya kabar ke ikan-ikan yang lebih muda, “Morning boys. How’s the
water?” dan ikan-ikan muda tersebut mulai kebingungan dan bertanya-tanya “what
the hell is water?”
Disinilah saya tersentak. Ideologi, agama, filosofi, sains,
metafisika, dan banyak hal lainnya —banyak orang yang mencoba untuk
membicarakan dan mencoba mengerti hal-hal tersebut. Dengan harapan untuk
menangkap gambaran yang lebih luas dari ‘The Whole Picture’. Seringnya kita
—baik mereka yang mendedikasikan dirinya untuk mendalami hal-hal itu, maupun
kita yang awam— sulit untuk mencerna atau bahkan sadar tentang itu.
Karena seperti analogi tadi, kita hanyalah ikan-ikan yang
ingin mencoba mengerti apa itu air —air yang menjadi wadah kita untuk ‘hidup’.
Tentu sangatlah sulit karena air tersebut ada disekitar kita. And most of the
time, we took it for granted without questioning it or even just to be aware of
it. Banyak cara dan beberapa adalah hal-hal seperti agama atau mungkin
filosofi, adalah cara-cara kita menginterpretasikan dan menjelaskan ‘air’ ini.
Secara pribadi, saya percaya dengan ‘sesuatu’ tersebut,
sesuatu yang tak terlihat yang membuat hal yang ada menjadi hal tersebut. Yang
menggerakan dan terus bergerak, fluid dan bermomentum.
Saya pernah berkhayal seandainya kita bisa melihat social
relation disekitar kita, baik antar sesama manusia, ataupun antara manusia dan
benda mati seperti sebuah gedung. Di khayalan saya ini, social relation
tersebut berbentuk garis-garis cair yang warna-warni: bayangkan energi
berbentuk cat acrylic yang mengitari kita dan hal-hal disekitar kita. Membentuk
landasan koneksi kita dengan yang lainnya.
Contoh yang lebih mudahnya, setelah kita memakai ‘kacamata’
khusus yang bisa memperlihatkan social relation ini, kita bisa melihat bahwa
sebuah gedung di sebuah pusat kota terbentuk tidak hanya oleh pahatan baku
beton, kaca, dan materi-materi lainnya yang membuat sebuah gedung menjadi
gedung. Tapi struktur dan bentuk dari gedung tersebut terbangun dari
kumpulan-kumpulan garis-garis warna yang melambangkan interaksi, hubungan, dan
koneksi sosial antara manusia-manusia yang ada didalamnya juga dengan ruang/benda yang
merupakan bagian dari gedung tersebut.
Di quarter akademik ini (Ya, kampus saya punya system 2
quarter dalam 1 semester, yang menyulitkan mahasiswanya untuk mendalami
subject-subject yang ada selain hanya untuk kulit kacangnya saja.. ini mungkin
akan menjadi bahasan di lain waktu) saya mengambil mata kuliah bernama Media
Production Lab, dimana kita belajar tentang fotografi praktis. Kebetulan dosen
yang mengajar adalah dosen kelas seminar saya, yang juga seorang yang ahli
tentang media secara teori (media studies) maupun praktis (teknik fotografi dan
videografi) —makanya saya ambil.
Di kelas ini saya memilih tema [sesuatu yang tak terlihat
tapi menempel dan ada disekitar kita yang entah bagaimana saya harus
menyebutnya dengan apa] dan menggambarkannya dengan warna, untuk projek
terakhir kelas ini.
Jika projek ini berhasil dan memuaskan, mungkin saya akan
muat di halaman elektrik ini, biar tidak melulu huruf dan fonetik saja.
---
Oh dan jika tertarik dengan speech si David Foster Wallace, silahkan buka link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=tlhVgn7sKv0
Juga dianjurkan untuk tonton versi lengkap speechnya!
Subscribe to:
Posts (Atom)