Friday, April 5, 2013

Insignificance and Uncertainties in West Papua: A Letter of Insecurities of A Spoiled Middle-Class


If you’re born during the 1990’s or experienced the 1998 revolution by looking at the marching buses full with angry civilians waving their flags crying for a change — through a window of the building that you had Kumon elementary school math course inside.. then probably you, more or less are seeing the same thing through the same lens with me right now.

Perhaps what we see isn’t as important as what we don’t see. 

After the fall of Soeharto and the New Order regime, Indonesia turned slowly from a feudalistic authoritarian country to a somewhat “democratic” one. The change that people have been waiting for finally came, or so we believe.

Us, the proud bastards of the 90s, were always told not to remember the sins of our fathers through the “un-exposedness” of the mass media. Our history textbooks only tell what the winner of history wanted to tell: the communist purge, East Timor, or any other sites of state-sponsored violence and genocides. Not to mention how they told us the reason for justifying the gore act that they did to our Chinese-descendant brothers and neighbors; or how beautiful Bali is, until the ocean waves slowly washes away the sand that hides hundreds of graveyard of innocent men and unborn child.

West Papua is another picture-perfect example. We always knew how primitive the Papuan people are; that we’re nobles in fine clothes and them the koteka-wearing savages. We always knew that god gave birth to one of the prettiest paradise on earth there, which we call Raja Ampat; that their land has rich-load of gold and natural resources. We always knew that, not only wears koteka, but they’re also a life-threatening separatist savages; that we always know the number of soldiers killed by OPM (Free Papua Movement).

But what we’ve never been told is that Papuans are also human. We never knew how they struggle for their lives; how they fight for their land and trees, so some multinational corporation won’t rape it; how they honor the nature and their ancestors. We never knew their history; how they’ve fought for their independence from the Dutch in 1961; how their fathers were pointed with guns and will get shot in the head if they don't vote for supporting Indonesia’s occupation in the 1969 “Act of Free Choice” at New York. We never knew the number of Papuan men that had bullets shot into their head, or their women being ripped off and raped by our noble state military men in front of their own village families in an open field, or how their children carries inerasable scars of war trauma.

So who’s to blame for this confusion? Who do we have to believe? Which “truth” do we have to seek? Perhaps it is a truth that we only see what we want to see. That we’re born ignorant and will die in ignorance. Thus, repeating what history sang about RMS Titanic, our great “nation” would sail bravely to the “great perhaps” — and sink in cinematic and obsolete nature, caused by our own iceberg of ignorance.

Ideological Fetishism VS Realpolitik


Dua spektrum yang tak kerap bertemu. Disini saya dengan lancang akan memisahkan dua entitas  yang secara gelap menyelimuti society kita.

Tentu jika bertanya kepada seseorang, pandangannya akan politik sekaligus posisi mereka dalam menyikapinya, kita akan mendapat jawaban yang bermacam-macam.

Ada yang mengaku apolitis tanpa menyadari bahwa dengan menjadi apolitis tetaplah politis. Paradox yang menjemukan.

Ada juga yang akan dengan menggebu-gebu seperti mesin-mesin dan massa yang meruntuhkan tembok berlin, mengklaim bahwa ideologi tertentu sesuai dengan yang mereka percaya itu adalah yang seharusnya diterapkan.

Dari mereka yang kedua, maka kita bisa temukan yang berpandangan lebih ekstrem — yang memberi harga mati kepada ideologi tersebut tanpa melihat kenyataan kondisi budaya dan sosial yang ada di negara ini untuk disesuaikan. Dengan lancang saya akan memanggil mereka ini sebagai mereka yang fetish ideologi.

Apakah ini sebuah kritik terhadap mereka? Bukan.

Jika kita lihat peta politik Indonesia secara mudah kita bisa lihat bahwa mereka yang berperan langsung dalam pemerintahan maupun partai, berdiri jauh dari spektrum yang tadi berlabel fetish ideologi.

Di tahun 2013 ini, semakin banyak partai-partai yang hanya menjadi kendaraan bagi pemimpin partai tersebut. Sebut saja SBY dan Partai Demokratnya, Prabowo dengan Gerindranya, dan lain-lain.

‘Realpolitik’ yang kenyataannya tidak melihat akan ideologi dan –isme tertentu.

 Berbeda sekali dengan jika kita membayangkan  peta politik yang ada jika pemeran politik di Indonesia adalah mereka yang fetish akan ideologi atau ‘-isme’ tertentu. Mungkin partai-partai yang ada bukanlah kendaraan pribadi si pemilik modal, tapi lebih seperti kendaraan bersama insan-insan yang memiliki visi dan misi yang sama.

Tentu jika kita melihat sejarahnya, tidak selalu dan tidak semua partai merupakan kendaraan pribadi seorang pemimpinnya.

Dalam presentasinya di Tedx Jakarta, Kevin Evans menjelaskan bahwa polarisasi ideologi yang ada di Indonesia tidaklah seperti yang ada di Barat — dikotomi kapitalisme dan komunisme — melainkan antara kelompok yang menginginkan hukum islam untuk diterapkan di Indonesia versus kelompok yang tidak, sebut saja nasionalis. Tentu disetiap periode sejarah Indonesia, polarisasinya tidak seterusnya antara Islamis dan Nasionalis. Untuk lebih detilnya bisa dilihat di link video tersebut : 

http://www.youtube.com/watch?v=DXnI7P4XtV0

Namun yang bisa kita lihat dari hal tersebut adalah fakta bahwa partai-partai pernah (atau sempat?) menjadi kendaraan umum, bukan kendaraan pribadi si pemilik modal seperti yang terjadi dewasa ini. Seiring dengan waktu berubah menjadi menjadi kendaraan pribadi dan semakin blur garis yang membedakan ideologi antar partai — lebih seperti kendaraan untuk kepentingan pribadi elit-elit yang ada didalamnya saja.

Mungkin kita membutuhkan lebih banyak dari mereka yang fetish ideologi, paling tidak ekstrem yang satu ini akan menyeimbangkan ekstrem yang satunya tadi.

Saya sendiri tidak tahu seperti apa sudut pandang teman-teman mahasiswa, aktivis, pemuda-pemudi yang ada di Indonesia sekarang. Apakah mereka memilih untuk mengaku apolitis atau lebih banyak yang mengaku ideologis.

Mungkin benar apa yang diucapkan Bang Iqbal, ketua suku di Kedai Lentera dan Lentera Timur (maaf bang :P)

Bahwa saat 1998 memuncak, energi dari mahasiswa dan aktivis yang ada terkonsentrasikan jadi satu: untuk menumbangkan Soeharto. Lalu setelah itu menjadi lesu, pergerakan-pergerakan yang ada menjadi sporadis, kecil dan banyak.

Sebetulnya ingin sekali saya memetakan pandangan kita, pemuda generasi post-orde baru. Paling tidak yang ada di Jakarta dan Bandung.

Tapi seperti biasa, mungkin hanya menjadi wacana mulut besar saya saja.

Utopia Picisan


Utopia hanya eksis dalam pikiran kita. Itulah kira-kira hasil perbincangan via twitter saya dengan seorang kawan.

Perbincangan tentang utopia ini muncul dalam renungan saya selama bersinggah selama 2 minggu di negeri senyuman dan malaikat, yang dulu disebut Siam ini.

Hal yang mencolok saya selama persinggahan saya ini, mungkin terkesan terlalu judgemental, mungkin jujur apa adanya, mungkin penuh akan kesoktahuan dan asumsi belaka, dan terlalu subjektif.

Berhubung tempat menginap saya terletak dekat dengan jalan utama turis asing, Khao San road, mata saya banyak tercolok pada turis-turis terutama yang mengabdikan diri mereka pada cara hidup bohemian moderen: backpacker.

(Lagi, pandangan saya ini sangatlah judgemental dan dangkal. Tak lupa tentunya, saya tidak bermaksud untuk mengklaim mana yang benar dan salah akan sebuah budaya dan identitas. Hanya saja mungkin ini bisa dijadikan sesuatu yg bisa direnungkan.)

Sebuah stereotype mungkin hanyalah karikatur dari kenyataan sosial yang ada, tapi setidaknya itu “setengah-benar”.

Di daerah ini, untuk setiap kedipan mata dalam sekian menit, kita bisa menemukan turis bergaya backpacker yang tak terhitung jumlahnya. Ciri-ciri dari gaya ini sendiri, setidaknya memiliki rambut dreadlock ala reggae dan tato disekujur tubuhnya — sekali lagi, saya tidak merendahkan atau mengagungkan budaya/identitas yang ada (mungkin, ya, menggeneralisir).

Terkadang di beberapa ruang dan waktu dalam pikiran kita, seseorang memilih identitas untuk mencapai keunikan dirinya sebagai seorang individual — identitas dalam konteks ini adalah sebagai ‘backpacker’. Jika itu case-nya, maka dengan berada di spot-spot pilgrimage backpacker seperti disini, secara langsung akan membunuh proses pencapaian keunikan individual tadi. Karena hampir semua individu yang ada, menggantungkan jubah identitas yang sama atau mirip.

Yang perlu diingat lagi bahwa ini hanya asumsi tentang alasan seseorang memakai suatu identitas.

Jika kita melihatnya dalam arah yang berbeda, maka kita bisa melihat adanya pergerakan bohemia-bohemia modern dari berbagai negara yang ada di dunia (terutama Barat), bersinggah disalah satu spot persinggahan terbesar (Khao San), lalu bergerak lagi berpencar ke pelosok-pelosok dunia yang lain.

Seperti pergerakan sebuah suku yang terikat tanpa perjanjian ataupun kontrak, untuk merayakan hidup di berbagai tempat di dunia..

..atau sebaliknya, keluar dari konformitas hanya untuk kembali ke dalamnya — hanya saja di tempat yang berbeda.

Inilah yang menyusupi benak saya, bahwa dengan adanya sekelompok orang yang juga mencari visi dan ‘berpakaian’ sama dengan kita, kita bisa menciptakan utopia kita didalam kelompok tersebut.

Lalu.. apakah Utopia ini adalah kondisi atau situasi?

“Dua-duanya sekaligus bukan keduanya,” kata kawan saya di balik layar twitternya.

Dan ya, menurut asal kata itu sendiri, ou-topos yang berarti “no place” dan eu-topos  yang berarti “good place”, dua arti yang bertentangan namun menjadi satu karena celakanya lidah :P