Monday, March 10, 2014

Golongan Hitam dan Pemilu 2014



Pemilu 2014 sudah semakin dekat dan beberapa teman saya mulai bertanya bagaimana cara mencoblos jika tidak berada di Indonesia. Untuk para perantau yang sedang tinggal diluar Indonesia, saya dengar ada caranya —entah lewat pos atau apa, saya tidak mengikuti tata caranya. Karena saya pribadi memilih untuk tidak memilih pemilu 2014 (dan mungkin pemilu kapanpun).

Ha? Ngga nyoblos? Lo apatis? Ngga peduli sama negeri sendiri? Nanti jatah suara lo dipake buat manipulasi jumlah suara lo rela? Dan seterusnya, tanggapan-tanggapan atas pilihan untuk tidak memilih.

Kesannya mereka yang tidak memilih adalah orang yang jahat disini. Sebelumnya agar lebih mudah, izinkan saya menyebut mereka yang tak memilih menjadi dua kategori yang berbeda: Golongan Putih dan Golongan Hitam.

Lalu apa yang sebenarnya yang membuat mereka-mereka ini menjadi Golongan Putih/Hitam? Dan apa yang membedakan dua golongan tersebut? Mari kita ulas lagi premis-premis yang ada di perbincangan ‘memilih untuk tidak memilih’ ini.

Dengan memilih=membawa perubahan/aspirasi

Secara pribadi saya tak percaya bahwa sistem pemilu mampu mewakili aspirasi kebanyakan dari kita. Karena sistem tersebut berfondasi pada pengeksekusian policy-policy yang sifatnya top-bottom, bukan Bottom-Top. Contoh sederhana yang bisa saya berikan tentang Bottom-top, ironisnya justru tidak nyata terjadi: jika seandainya Car Free Day di Jakarta bukanlah keputusan pemerintah, tapi berawal dari gerakan kecil grup-grup masyarakat yang, sebut saja environmentalist, lalu dari gerakan kecil tersebut berkembang jadi policy official yang diangkat oleh pemerintah.

Berangkat dari cara pandang ini, asumsi bahwa dengan memilih calon presiden yang ada akan merubah kondisi Indonesia, sangatlah absurd dan insignifikan. Apalagi melihat kandidat-kandidat capres yang ada sekarang —semuanya tak lepas dari rezim Orde Baru.

Disinilah yang membedakan Golongan Putih dengan Golongan Hitam.

Apatisme

Apatisme ala Golongan Putih didasari oleh rasa ignoran dan absennya kesadaran politik-aktif. Tag-line yang sering keluar dari mulut Golongan Putih: “Gue jijik/muak/benci politik,” atau, “Gue apolitis” —pada dasarnya sangatlah kontradiktif. Menjadi ‘apolitis’, dengan sendirinya adalah sebuah pilihan yang politis.

Sama halnya dengan daya beli konsumen adalah pilihan yang politis. Contoh gampangnya adalah: Cabai. Saya akan memakai sedikit imajinasi dan pengandaian disini.

Jika semua konsumen di Pulau Urban memilih untuk tidak membeli cabai-cabai yang diproduksi dari Pulau Cabai dan lebih memilih sambal-sintetisnya PT. Karainomoto, maka para petani yang menumbuhkan cabai tersebut tak bisa menjual hasil panennya. Supply-Demand pada dasarnya. Maka para petani cabai pun kehilangan mata pencahariannya dan mungkin kepunahan cabai asli Pulau Cabai.

Jadi pada intinya, semua pilihan kita adalah pilihan yang politis.

Sementara itu di lain pihak, pilihan para Golongan Hitam untuk tidak memilih didasari bukan oleh apatisme terhadap apa yang terjadi pada Indonesia. Tapi atas kesadaran bahwa memilih tak akan mengubah apa-apa. Dan bahwa ada cara lain untuk mengubah kondisi kita sekarang, salah satunya adalah dengan cara Bottom-Up tadi. (Tentu perlu diingat, yang saya sebut sebagai Golongan Hitam belum tentu memiliki visi, cara, dan aspirasi yang sama —jadi belum tentu punya opini yang sama tentang Bottom-Up.)

Keputusasaan terhadap para Kandidats Gendats

Mari kembali kepada kandidat-kandidat capres 2014. Kandidat yang populer, kecuali Jokowi dan mungkin beberapa yang lain, adalah penerusan dari rezim Orde Baru Soeharto. Susah sekali rasanya untuk tidak berpikir bahwa Pemilu yang berikut ini bukanlah ajang rebutan kekuasaan para elit lama. Apakah kita harus tetap denial dan tetap memilih? Bahwa memilih yang paling tidak salah dari pilihan-pilihan salah adalah keputusan yang bisa kita ambil?

Lalu apa bedanya antara pemilih in-denial dengan Golongan Putih? Saya rasa tak ada.  Pemilih in-denial memutuskan untuk memilih kandidat yang ada karena rasa putus asa terhadap capres-capres tersebut. Secara tak langsung, Ia mengatakan bahwa kita harus dependen kepada para Pemimpin (baca: para Elit) —meskipun pemimpin-pemimpin tersebut salah semua dan tak ada yang bisa mewakili aspirasi kita. Dan dengan rasa putus asa tersebut, kita harus memilih yang “paling tidak salah” dari semuanya.

Disinilah Golongan Hitam berdiri dan menancapkan bendera hitamnya. Bahwa ada cara selain terus terbawa sistem yang sudah ada sebelumnya. Dan itu dimulai dari kesadaran untuk tidak memilih —tanpa menjadi apatis terhadap yang terjadi. Sebuah bentuk civil disobedience.

Saya sendiripun merasa, Golongan Hitam juga terjebak dalam rasa keputus-asaan. Karena yang mereka bisa berikan untuk membawa perubahan, kebanyakan hanya berskala kecil —jika dibandingkan akumulasi power para elit dengan wewenangnya dalam membuat policy dan mengatur kuasanya.

Tapi diatas rasa putus asa tersebut, Golongan Hitam mengajak agar kita berhenti terbuai ilusi para elit, berhenti memilih dalam denial, berhenti untuk menjadi apatis. Untuk menampar muka kita sendiri dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Tentunya, anda para pembaca bisa menyadari bahwa tulisan ini didasari oleh rasa putus asa dan pengandai-andaian yang berlebihan. Utopian dan tak masuk akal. Tapi jika menjadi masuk di akal adalah tetap ignoran dan menutup mata atas apa yang sebenarnya terjadi, bukankah menjadi tak masuk akal lebih baik?

***


Dalam analisis yang ditulis oleh AE Priyono, dipaparkan lebih jelas bagaimana jumlah suara golput dari tahun 1999 sampai 2009 terus bertambah dan selalu menang dalam pemilu. Silahkan dilihat dan dibaca disini: http://indoprogress.com/2014/02/golongan-putih-dari-alienasi-ke-oposisi/

Friday, March 7, 2014

Let's #SaveSomething everytime we click it and do it again tomorrow. and tomorrow. and tomorrow


Semakin banyak sekali video-video pendek yang beredar di internet —yang mampu menyentuh, mendorong, dan menendang sedikit kesadaran kita. Entah itu berbentuk inspirasional, semacam video ala “TEDx” misalnya, dimana  perempuan terjelek di dunia berbagi kisah mengharukannya.

Atau video-video yang saya label sebagai video #SaveSomething —dimana biasanya memakai formula: kalau [masalah ini yang hanya mungkin terjadi tempat-tempat ini] kita simulasikan untuk terjadi pada [orang-orang yang demografinya adalah target audiens yang tak kena dampak] atau vice-versa. Seperti video #SaveSyriaChildren, #SaveWater, dan #Save-SaveLainnya.

(Trivial: sepertinya terutama untuk video-video #SaveSomething, tampaknya menarik untuk di baca dengan kacamata class-struggle. Adakah yang bersedia?)

Yang saya cermati dan rasakan akhir-akhir ini adalah, munculnya Mati Rasa? Saya tak tahu apakah anda tidak merasakannya, atau, tidak tahu kalau merasakannya juga.

Dengan alasannya masing-masing, kita buka link video-video tersebut saat kita menemukannya di social media. Sembari tonton, hati kitapun tersentuh dan tergerak untuk melakukan sesuatu —diawali dengan mengklik ‘Like’ lalu diakhiri dengan ‘Share’. Mengajak lebih banyak orang lagi untuk melihat video tersebut dan mengenal cause yang video-video tersebut ingin sebarkan (atau secara tak sadar mungkin kita menganggap bahwa dengan menyebarkan video-video tersebut adalah kita bisa berkontribusi —setidaknya dalam kadar ‘paling tidak’).

Siklus yang sama berkali-kali setiap kali kita menemukan video-video baru lainnya: Klik linknya—tonton dan terinspirasi/tersentuh/tersentak—sebarkan lagi—lalu menemukan lagi link video yang lain entah kapan—dan terus terulang lagi siklus yang sama.

Sampai rasanya menjadi “terinspirasi, tersentuh, atau tersentak” jadi tak berarti lagi.

Tak salah untuk pembuat video-video tersebut menyebarkan misinya tentu saja. Dan tak salah juga kita sebagai audiens pasif-menjadi-aktif untuk mengkonsumsi video-video tersebut dan membantu menyebarkannya.

Tapi entah mengapa tercium sedikit hypocrisy. Mengingatkan saya pada ucapan Oscar Wilde pada teks politiknya, The Soul of Man Under Socialism:

“… it is much more easy to have sympathy with suffering than it is to have sympathy with thought.”

Yang Wilde ingin sampaikan pada sajak tersebut, menurut Slavoj Zizek, adalah kita sebagai sebuah society seringnya menghancurkan dengan tangan kiri apa yang kita bangun dengan tangan kanan.
Gambaran sederhananya seperti berikut: dalam lingkaran yang sama kita mendonasikan “roti” kepada Mereka yang tak bisa makan. Padahal produksi roti tersebut adalah alasan utama mengapa mereka tidak bisa makan dan harus hidup melarat (misalnya pabrik roti tersebut mengambil lahan tanah tempat mata pencaharian hidup Mereka secara cuma-cuma sampai habis).

Bahwa kita membutuhkan perombakan yang lebih masif yang bukan sekedar ‘paling tidak’.

Disambungkan dengan fenomena video-video #Save tersebut, seolah-olah bukannya aktif, kita sebagai audiens justru menambah kepasifan kita terus memutar lingkaran “roti” tadi.

Hal tersebutlah yang membuat saya sadar adanya dilema. Apakah kita harus sampai pada titik dimana kita Mati Rasa, lalu baru bertanya apakah kita membutuhkan perombakan yang lebih radikal —jika memang kita ingin #save Mereka—daripada sekedar terus menerus memutar lingkaran dan siklus tadi?

Tentu perombakan yang total pada sistem tak akan terjadi dalam semalam. Yang bisa terjadi adalah perombakan pada inti individual-individual yang ada di dalamnya.

Dan mungkin Mati Rasa adalah proses pertama dari perombakan tersebut.