Thursday, August 29, 2013

8. Lengkungan

"Ada laki-laki yang tumbuh dengan image Wonder Woman (acara TV jadul) di kepalanya. Ada juga yang dengan Dian Sastro jaman AADC.

Mungkin ada juga yang berkiblat ke Nikita Willy.

Ada juga, yang tumbuh dengan menonton acara tv semacam 'Jejak Petualang'. Mungkin secara bawah sadar, jarang bocah laki-laki suku urban metropolitan bisa lihat perempuan pendaki alam diantara cewek-cewek bertas branded, dress cantik, dan full make-up di muka.

Sebuah ketertarikan tersendiri, melihat indah lengkungan kaum hawa yang sibuk menjelajahi lengkungan-lengkungan alam, seperti lengkungan gunung dan sungai, yang jauh berbeda dari garis lurus kaku persegi gedung-gedung di 'hutan beton' perkotaan.

Ah, tapi.. sungguh pikiran yang patriarkis.

Maafkan kelancangan benak ini, Avianti, Ayu Utami."

7. Perubahan

"Iya, saya punya fetish sama ngekotak-kotakin sesuatu. Pigeonholing, sebut saja. Dari genre musik sampai isme-isme ideologi.

Korban terbaru fetish saya ini adalah teman-teman SMA saya. Saya penasaran sama perubahan-perubahan teman-teman saya yang sedang melewati masa kuliah.
Sejauh ini, saya baru menemukan sedikit kategori-kategorinya: ada yang jadi artis tv. Jadi ateis garis keras, ada. Yang jadi pionir spiritual sufisme, ada. Jadi 'Bapak biasa' pun ada (joke internal).
Yang belum: Jadi ustad, politikus kakap, jadi biksu, preman, gypsie, dst..
 Mungkin cuma belum ketemu aja.

Kalau saya sendiri? Berubah dong. Dari bocah dungu jadi kulit kacang. Kopong tanpa isi."

6. Muak-Muak Lucu

"Mau gimana kalau ngerasa muak sama semuanya?

Bayangkan gini, ceritanya kamu muak sama semua yang umum: sistem, pemikiran, dan keadaan sosial yang ada. Lalu kamu cari pelarian dan menemukan yang 'gak umum'.

Tapi sekarang, kamu muak juga sama yang 'gak umum' itu.

Gampangnya gini: Kamu gak suka sama kaum kamu sendiri —yang hedon dan urban itu. Petit bourgeois ibukota.
Terus kamu lari 'cari ASI' ke leftist ibukota. Lalu kecewa dengan sorotan mata 'elitis' mereka.

Sekarang mau lari kemana?"

5. Disonansi

"Kalau sudah mencicipi dua sisi yang berbeda, mungkin kita akan lebih mengerti dimana tempat kita sebenarnya.

... dan disinilah saya berada. Dunkin Donuts Matraman, membaca buku Si Parasit Lajang, ditemani televisi yang menampilkan acara gosip bertema dangdut: kehamilan berskandal, pernikahan dangdut yang dipersatukan Tuhan, dan tetek bengek per'artis'an.
Sebuah disonansi yang nyata. Buku Parasit Lajang mengajak pembacanya untuk sedikit lebih kritis terhadap kapitalisme patriarkis, sementara televisi disebelah menggemborkan hingar-bingar kapitalisme-kebudayaan —dimana kehidupan pribadi para "artis" menjadi produk yang dijual, dan sementara itu semuanya saya alami di dalam salah satu produk kapitalisme global: Dunkin Donuts.

***

Baru-baru ini saya mencicipi dua dunia yang 'berbeda'. Dunia yang pertama, adalah dunia yang diisi oleh pionir-pionir jurnalisme yang menjunjung tinggi multikulturalisme di dalam Indonesia. Bahwa narasi umum "Jawanesia" perlu diteliti ulang —bahwa Indonesia bukanlah Jakarta dan Jawa saja. Analisa dengkulan saya menangkap bahwa di 'dunia' ini mereka mengkaji 'Low Culture' (budaya keseharian, bukan rendahan) yang bermanifestasi dalam narasi politik, bahasa, dan identitas. Kesan orang-orang yang didalamnya pun, intelektual-intelektual yang sederhana.

Sementara 'dunia' yang kedua, dipenuhi dengan hingar-bingar 'High culture' —budaya modern (ini definisi terlewat dangkal sebenarnya), seperti seni yang bisa kita temukan didalam galeri, atau segala budaya yang berbau urban dan modern. 'Dunia' inipun, diisi oleh manusia-manusia urban ibukota.

Sekarang, saya semakin mengerti dimana 'tempat' saya sebenarnya. Aneh memang, sekeras apapun kita meyakinkan diri kita untuk anti kepada konformitas sosial, tetap saja kita butuh sebuah 'tempat yang nyaman'.

***

Masih, saya duduk didalam Dunkin Donuts Matraman. Sembari menulis, TV disebelahpun beralih dari acara gosip menjadi 'Laptop Si Unyil'.."

4. Ego

"Entahlah. Mungkin saya terlalu hidup nyaman.
Mungkin saya terlalu cepat memutuskan bahwa, mereka yang saya anggap dangkal itu, dangkal.
Mungkin mereka hidup di dalam situasi yang jauh dari standar nyaman saya.
Dan lupa bahwa saya sendiri tak beda dangkalnya."

3. Kulit Kacang

"Kamu itu siapa?
Seniman bukan. Musisi bukan. Ekonom bukan. Ilmuwan sosial bukan. Entrepreneur bukan. Ahli bahasa bukan. Penulis juga bukan.
Bukan apa-apa.
Mungkin kamu cuma manusia kulit kacang.
Punya banyak kulit-kulit kacang tapi gak ada yang ada isinya: kacangnya itu sendiri.

Dangkal.
Lapis luar doang."

2. —

"Entah mengapa saya punya kecenderungan untuk menyukai penulis-penulis depresif-suicidal yang ujung-ujungnya membunuh diri mereka sendiri. Sebutlah diantaranya Ryunosuke Akutagawa dan David Foster Wallace.
Mereka, mungkin, jika dikonversikan tulisan-tulisan mereka menjadi kanvas, akan dipenuhi dengan abu-abu. Abu. Abu. Kelabu.
Mungkin, walau rasanya tak begitu, mereka bisa melihat keindahan dalam kebobrokan-kerusakan-kebodohan kita para manusia modern.

Atau mungkin lebih tepatnya mereka sudah muak saja dengan semua itu."

1. Beban Moral

"Hari ini saya bertemu dengan, lagi-lagi, orang-orang yang membuat saya terbengong-bengong sapi ompong - namun bahagia.
Orang-orang yang membuat saya seolah seperti manusia terdungu, yang entah karena tidak pernah membuka inderanya, atau tak pernah membuka diri pada dunia —dan stuck pada ignoransi, atau dua-duanya.
Orang-orang yang bisa mengembalikan harapan dari bodoh-bodohnya kita, manusia.

Semoga semua tuhan-tuhan yang ada di muka bumi memberkati mereka."

Kata-Kata Shu Ju

...dari "Lukisan Neraka" Ryunosuke Akutagawa



"Kehidupan itu lebih bersifat neraka daripada neraka itu sendiri"

Jakarta Agustus-September 2013

Berikut adalah tulisan-tulisan pendek yang saya tulis di buku catatan kecil yang saya bawa kemana-mana selama di Jakarta liburan musim panas ini. Silahkan buang jika tak sampai di hati

Tuesday, August 13, 2013

Pulang dengan Tangan Kosong, Hati yang Penuh: Kedai Lentera dan Jeff Buckley


Tahu perasaan ekstasi super exciting kayak waktu kita menemukan tempat super keren? Bukan karena tempatnya super ‘wah’ atau gimana. Tapi karena orang-orang ditempatnya atau cerita yang berputar di balik tempat tersebut.

Baru tiga-empat kali saya berkunjung ke Kedai Lentera. Selalu, tempat itu mengejutkan saya dan selalu bikin saya pulang dengan bahagia. Di Kedai, saya menemukan orang-orang yang juga suka dan lebih ahli dengan hal-hal yang saya suka, di konteks ini tentang ethnicity, budaya, dan dunia.

Pernah bertemu sama orang yang suka hal yang sama dengan kita, tapi saking mereka lebih ahlinya, kita sampai ngga ngerti apa yang mereka omongin? Karena level mereka lebih tinggi daripada kita dan kita cuma bisa bengong sapi ompong tapi bahagia dengerinnya.

Itu yang saya temuin di Kedai Lentera.

Terakhir kali saya ke Kedai Lentera (beberapa hari yang lalu), saya berniat membawa teman saya yang berasal dari Jepang kesana untuk ngobrol dengan pemilik Kedai Lentera. Kebetulan, teman Jepang saya itu seorang ‘nasionalis NKRI’ dan lagi bikin thesis tentang Indonesia paska-Soeharto. Sementara si pemilik Kedai, saat saya berkunjung ke Kedai beberapa waktu sebelumnya, bilang kalau ada film lawas tentang tentara Jepang yang membantu orang Indonesia dalam merebut kemerdekaan, dia juga bilang tentang beberapa hal  berhubungan dengan Jepang dan kemerdekaan Indonesia yang tidak tertulis dalam sejarah mainstream Indonesia. Saya pikir, pas banget kalo mereka bisa ngobrol!

Tapi tampak jodoh belum bertemu, sang pemilik Kedai kebetulan sedang juga kedatangan tamu dari tempat yang jauh dan sang turis Jepun juga harus pulang cepat malam itu. Pertemuan yang mungkin bisa menjadi perbincangan yang menarikpun batal terjadi.

Si turis Jepun dan beberapa teman lain pulang, saya dan satu teman lagi tetap tinggal, bertukar kata setelah sekian lama tak jumpa.

Sering kali, kalau lagi pelesiran atau ngebolang entah kemana, saya selalu berharap bisa ketemu orang random, berbincang tentang hal-hal yang tidak bisa dibicarakan sehari-hari, menemukan pengalaman sederhana yang menyentuh hati dari orang-orang tersebut.

90% nya, saya gagal menemukan ‘pengalaman’ tersebut.

Tapi malam itu adalah 10%nya. Lagi-lagi, Kedai Lentera mengejutkan saya.

Di tengah-tengah obrolan saya dengan teman saya itu, tiba-tiba saya dengar suara lengkingan khas.

Lagu Grace.

Jeff Buckley.

Serentak saya dan teman saya bersorak ria. Penasaran, saya bertanya ke orang yang lagi jaga kasir dan ternyata benar, dia yang pasang lagu tersebut. Kami akhirnya beranjak dari kursi dan nyamperin si penjaga kasir.

Saya bahkan sengaja minta salaman dua kali buat kenalan sama dia, yang ternyata adik dari pemilik Kedai (tapi bukan yang ingin saya temukan dengan si teman Jepun, ada satu lagi pemilik Kedai). Soalnya, bener-bener bener-bener sedikit sekali orang yang suka sama Jeff Buckley. Ini bukan persoalan hipster dan musik keren yang jarang orang dengar.. Musik, ujung-ujungnya pasti cuma masalah selera, akumulasi situasi pengalaman dan perasaan sang pendengar saat bertemu dengan musik tersebut, dan relatedness musik tersebut dengan diri si pendengar saat itu.

Untuk saya, musiknya Jeff Buckley adalah contoh terkonkrit dari teori tersebut.

Akhirnya, setelah kita bertukar nama, kita duduk bareng (didepan meja kasir) dan bertukar pengetahuan tentang band-band favorit sejam-dua jam. Bergantian kita memasang lagu-lagu dan ngobrol ringan menyenangkan.

Malam itupun saya pulang dengan perasaan sederhana-bahagia —‘pengalaman’ yang jarang saya temukan.

Oh ya, saya bukan buzzer (seperti banyak di twitter) yang ngepromosiin Kedai Lentera. Ini benar-benar pengalaman personal. Mungkin kalau anda datang kesana tidak akan merasa sama dengan saya.

Tapi tidak salah juga sharing tentang Kedai Lentera, mungkin anda malah meng-experience tempat itu dengan lebih ‘wah’ daripada saya. Jadi silahkan dicoba, Kedai Lentera berlokasi di Jl. Sawo Manila No. 10, Jati Padang, Pasar Minggu. Dekat sekali dari Universitas Nasional dan Pejaten Village.

Semoga berguna J