Wednesday, July 24, 2013

2014


2014.

Tampaknya akan menjadi tahun yang ‘menarik’, terutama di Jakarta. Paling tidak, sampai 2-3 tahun setelahnya akan tetap begitu. Buku-buku distopia yang pernah anda bacapun nanti tak akan sia-sia di pojokan rak buku anda.

2014 akan menjadi tahun pemilihan presiden berikutnya, yang akan menjabat selama 2014-2019. Lagi-lagi, kandidat-kandidat dari calon presiden yang mencalonkan diri untuk pempres nanti terdiri dari muka-muka lama —seolah hantu dari orde baru masih saja tak melepaskan diri.

Berbagai isu yang terjadi akhir-akhir ini, seolah memberikan sedikit sneak-peek menuju Indonesia 2014 nanti. Saya rasa, semua orang sudah tahu tentang FPI dan isu-isu yang diramaikannya. Dari soal siraman teh sampai meninggalnya warga yang tertabrak mobil sweeping FPI. Semua orang juga tahu, apa yang kita proteskan ke ‘negara’ dan kita juga tahu bahwa suara kita tak akan pernah didengar.

Tapi sudah kadaluarsa rasanya untuk tetap menghadapi dan melihat FPI sebagai sekedar ‘grup garis keras’ —fundamentalis akar rumput yang kelewat ‘keras’, dan berserah kepada mekanisme pertahanan kita dengan berpikir ‘Islam mereka ngawur, tidak seperti Islam kita. Islam kita cinta damai’.

Ada cara lain dalam memandang persoalan ini. Baiknya, kita hindari cara berpikir “siapa yang paling benar” ini, terutama secara teologi, karena tidak akan berujung pada penyelesaian (sementara di belakang, teman-teman yang ateis menertawakan kita yang beradu ayat hanya untuk melakukan hal yang benar). 

Kita tidak bisa sekedar menyalahkan persoalan FPI sebagai grup yang ‘keras’ saja. Persoalan ‘grup fundamentalis’ lebih rumit dari sekedar sekelompok orang yang memiliki pandangan agama yang kelewat keras. Ketika membahas grup garis keras, kita harus juga melihat dari sisi sejarah, ekonomi, dan sosial dari bagaimana terlahirnya grup-grup tersebut.

Tapi yang ingin saya umbarkan disini bukanlah tentang latar belakang FPI.

Saya hanya ingin menyatakan ketakutan saya.

2014 dipenuhi oleh calon-calon presiden yang merupakan produk orde baru. Dimana dua calon tersebut adalah petinggi militer yang berkecimpung langsung dalam kejadian-kejadian dipuncak orde baru.

Prabowo dan Wiranto.


Jujur saja. Ini bukanlah tulisan yang objektif. Sebagaimana tidak ada yang namanya jurnalisme yang objektif. Walau ini tidak layak dihitung bagian dari jurnalisme, yang pasti tulisan ini subjektif. Subjektif pol-polan.

Dua hal  yang saya takutkan yang mungkin berdampak dari isu FPI ini yang mungkin akan mempengaruhi pempres 2014 nanti:

Dibuatnya undang-undang yang melarang ormas (organisasi masyarakat). Yang tak langsung juga akan membunuh kebebasan berpikir dan berbicara bagi masyarakat. Tak cukupkah ruang publik yang telah direnggut oleh pemerintah semenjak 1965 saat mereka memberantas PKI? Dengan kondisi kita sekarang (di Jakarta), dimana taman dan ruang publik dimana orang-orang bisa berkumpul dan bertukar pikiran, beraktifitas dan berbagi aspirasi, telah ditiban dengan berpuluh-puluhan Mall. Apakah kita menginginkan kembalinya otoritas tangan besi yang dengan senang hati membungkam pikiran dan suara kita?

Sekarang saja suara kita tidak pernah didengar. Bagaimana nanti? Kalau berkumpul dan bertukar pikiran saja kita bisa dipenjara.

Hal lain yang ditakutkan adalah tentunya, dengan gamblang dan lancang, adalah kembalinya sosok otoriter yang mengambil alih kursi kepresidenan 2014 nanti.

Gejala Neo-Soehartoism, sebut saja, yang dimana masyarakat ketakutan dengan segala kekerasan yang dilakukan grup sipil (non-state)  dan mengelu-elukan kepemimpinan tangan besi yang bisa menyediakan ‘keamanan’. Rindu akan sosok Bapak yang tersenyum yang melindungi kita semua.

Ya tuhan..

Hanya butuh sosok musuh, untuk menyatukan kita semua. Coba tengok Al-Qaeda yang terus samar —semua bisa jadi Al Qaeda. Mungkin besok, tahun depan, mungkin di utara, selatan, mungkin ibu anda, selingkuhan anda, atau siapapun —semua tergantung agenda sang penguasa yang mengaku pahlawan.

Tak perlu jauh liat ke negara seberang, kita pernah melakukan hal yang sama dengan PKI. Tak perlu jauh lihat kebelakang sejarah, kita melakukannya sehari-hari.

Kita berbaku hantam dengan SMA sebelah ketika mereka terlihat lebih nyolot. Kita memusuhi etnis lain ketika mereka lebih kaya secara ekonomi.

Tapi kita bersatu ketika tim sepak bola kita bertanding dengan Malaysia!

Untuk negara mengeksekusikan ‘power’ mereka, tentu lebih mudah jika ada ‘musuh bersama’. Kita berhasil melakukannya di 1965 dengan PKI. Tidak menutup kemungkinan, modus yang sama akan dipakai nanti.

Dengan memaraknya kerusuhan yang dibuat oleh organisasi kemasyarakatan semacam FPI, demand untuk keamananpun meningkat. Ketakutan kita terhadap grup garis keras akan diseimbangi oleh proposal atau janji yang menawarkan keamanan. Yang mungkin akan ditawarkan oleh pihak yang secara struktural memegang keamanan (..baca: senjata) negara.

Dan hal tersebut bisa berujung kepada pemenjaraan pikiran dan ekspresi yang dikebiri, semua atas nama 'keamanan' palsu.

Tulisan ini tidak lebih dari asumsi, bukanlah prediksi, dan hanyalah kegelisahan hati saya.
Saya pikir, 2014 akan menjadi awal dari periode baru yang menarik, yang penuh akan masalah yang memuncak, kerusuhan, dan akan menjadi periode dalam sejarah yang cukup menantang.

Untuk itu, sampai 2014 nanti, selamat menikmati setengah akhir 2013!


‘Menuju Indonesia Distopia 2014’