Friday, May 29, 2015

#Catatan sebelum Doa Sebelum Makan

I truly believe in this 'Higher-thing'...
The Beyond. The Absolute Beauty.

And I try as much as possible to be devotedly doubtful of it.

And there are people who strives for and believes—straightly to the core of their frickin' asses—in that Beauty.

Are they sure that there is this 'absolute Beauty'? Can they be really certain of it?

Maybe they do. Maybe they don't.

Either way, by both believing and doubting it along the way as they look for 'it',
they created that Beauty that they're looking for.

Talking about all this, does it makes one a delusional, unrealistic prick?

Anyway, this song came up just like many times before. The connection is there, probably...


Thursday, May 28, 2015

Doa Sebelum Makan

Agama adalah Bahasa yang selalu membuatku bertanya
Bolehkah aku memandangMu sebagai sebuah Keindahan?
Atau harus menjadi sesuatu yang kutakutkan?

Lalu, harus kusalahkan siapa untuk perasaan yang tak bertuan ini?

Si Hantu yang bernama Rasa

Hantu ini tak jelas sekali
Aku bisa (mencoba) mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang mirip dengan rasa iba, kelegaan setelah sebuah beban yang sangat berat
Namun bisa juga seperti kesedihan yang sangat-sangat menenggelamkan
Seperti Nostalgia, Ia mencampur aduk rasa bahagia dan sedih ATAS sesuatu yang tak lagi ada (namun tak mengapa)

Hantu ini benar-benar tak jelas...

Namun bisakah seseorang rela menyambut Hantu tersebut—membiarkan dirinya meresap atau diresap oleh si Hantu—ketika perut terus menyita pikiran untuk diisi?

Mikirin perut pun susah, apalagi menguras tenaga untuk sebuah Hantu yang tak jelas?

...

Tapi, bolehkah aku memakai Bahasa-Bahasa tadi itu bukan untuk menaruh ucapan-ucapanMu di mulutku?—bahkan aku sendiri masih tak yakin kalau itu benar ucapanMu atau hanya ucapan mereka dalam membahasakan keindahanMu.

Keindahan?

Sok tahu sekali aku menyebutMu sebagai sebuah Keindahan.
Oh, Tuhan. Sudikah kau kami puji-pujikan?

Barangkali, Kau pun tak sudi kami puja-puja—ataupun kami anggap Ada.
Aku sungguh tak tahu, hanya saja, aku masih (ingin) percaya kepada Keindahan.
Mungkin itu adalah secuil dari manifestasiMu (jika Kau sudi untuk Ada).
Dan dari secuil itu, Ia mempersonifikasikan dirinya sebagai si Hantu.
Hantu yang bernama Rasa.

Namun masih saja aku tidak bisa menghilangkan Keraguan.

Tenang, seorang pemuda (yang pernah tua) bernama Soren pernah mencoba meyakinkan kami bahwa Keraguan adalah sebagian dari Iman.
Karena, apa gunanya mengimani sesuatu jika hanya untuk menerima mentah-mentah?

...

Pernah seorang Romo di daratan Jawa sana mewujudkan imannya dalam bentuk aksi langsung—intervensi Humanis ke manusia-manusia yang sengsara.
Sungguh, aku merasa tak mampu untuk seperti itu. Masih ada sisi yang—demi kemudahan komunikasi—egois dalam diriku yang seolah-olah ingin mencapai sesuatu......
Mungkin hal ini lebih dimengerti oleh mereka yang (masih) mengimani psikoanalisa—dorongan-dorongan bawah sadar diriku yang selama ini tak mampu berkutik dan mencari pelampiasannya; yang tak bisa apa-apa dalam menghadapi kenyataan.

Kenyataan?

Kenyataan disini maksudnya, sungguh, dalam maksud yang terdangkalnya.
Kenyataan sebagai 'social layer'. Kenyataan tervulgar, terdangkal, terpraktis, dalam pemaknaannya.

...

Yang membuatku masih percaya kepada Keindahan, ataupun kepada si Hantu tadi itu, adalah hal-hal kecil yang sungguh tak signifikan.
Seperti saat-saat aku 'dikenalkan', entah bagaimana caranya, kepada Mereka—misalnya seperti sang Romo tadi itu.
Tentunya, aku tidak tahu seperti apa sang Romo sebenarnya karena aku tak pernah bertemu dengannya langsung.

Namun hati ini selalu 'meringis' setiap aku 'berkenalan' dengan orang sepertinya.
Sungguh, sang Hantu yang bernama Rasa itu seolah-olah mewujudkan dirinya dalam banyak hal yang telah sang Romo lakukan dan wariskan.

Aku sangat bingung bagaimana menjelaskan perasaan seperti apa 'meringis' tadi itu—ataupun, lagi-lagi, seperti apa si Hantu itu.

"Random act of kindness, senseless act of Beauty"

Mungkin kalimat tersebut bisa men-trigger rasa yang mewakili apa yang tak bisa saya jelaskan dari tadi.

...

Dan jika memang aku tak mampu untuk menjadi seperti Mereka, maka izinkanlah diri ini untuk mementingkan kepentinganku sendiri dan menjadi egois sepenuh-penuhnya. Karena sesungguhnya, salah satu kepentinganku adalah 'mencari' atau 'mewujudkan'-Mu dengan memberiMu sebuah bentuk—yang sebenarnya juga tidak berbentuk...

(Seseorang yang sangat saya kagumi pernah berkata bahwa nada dan suara adalah sang Feminin—yang meledak-ledak, luapan energi (yang bisa juga seksual) dan rasa, sementara bahasa yang menjadi liriknya adalah sang Maskulin—yang kokoh, yang memberi bentuk dan garis. Sama seperti bagaimana sang Feminin adalah Darah dan sang Maskulin adalah pembuluhnya, rongga yang menyalurkan Darah tersebut.)

Dan jika diperbolehkan, maka izinkanlah aku untuk melakukan itu sembari tetap memikirkan perut.

Amin.

Sunday, May 10, 2015

"How are you?"

is the absolute question.

There're no other questions that could embody this indescribable feeling.
To steal from the sufis, such feelings might be what they describe as what the moth is feeling when it deliberately approaching the Fire.

it just couldn't resist the warmth.

Nothing beats this warm feeling of wanting to know how you are doing.

Tuesday, March 31, 2015

Semesta, untuk saat ini

Saya menulis untuk mencoba mengerti—selain untuk sekedar menumpahkan yang ada di pikiran saja. Untuk itu, izinkanlah saya mencoba mengerti beberapa hal dengan keterbatasan saya saat ini.

Anggap saja Alam Semesta itu ingin berekspansi: Ia ingin berkembang.

Yang awalnya hanya ledakan dan debu-debu bintang. Ia berkembang dan Bumi hanyalah sebagian kecil dari proses ekspansinya. Di dalam bumi itu sendiri tentu banyak perkembangan—dari organisme bersel satu menjadi yang ada sekarang. Itu semua permainan Order dan Chaos, Hirarki dan Anarki—tak benar-benar berlawanan, satu adalah bagian yang satunya lagi. Mengapa? Dari Chaos/Anarki tersebut lahir Order/Hirarki seperti bagaimana dari satu organisme sederhana sekarang berkembang menjadi bermacam-macam spesies. Dan di luar (dan di dalam) Order/Hirarki tersebut berkecamuk Chaos/Anarki seperti yang ada pada Microverse dan Macroverse.
Intinya, di dalam Order ada Chaos, di dalam Chaos terdapat Order. Sama halnya untuk Hirarki dan Anarki.

Manusia adalah salah satu ekspansi dari Semesta juga. Kita, kalau menurut Buckminster Fuller, menjadi Verb—kata kerja dan fungsi integral milik Semesta. Melalui Pengalaman di kehidupan yang manusia jalani—kesalahan, penyesalan, pencapaian, mimpi, kekalahan, kemenangan—Ia berekspansi.

Persepsi manusia itu terbatas. Ia hanya bisa melihat kanan dari kiri, melihat atas dari bawah, dan sebaliknya. Ia tak bisa melihat dan memahami segalanya dengan pandangan yang Omnipoten, menyeluruh.
Namun justru karena keterbatasan tersebut, Ia menjadi berarti. Bahwa setiap darah yang terbuang dari lukanya—hanya agar Ia bisa memetik bunga dan memberikan bunga itu kepada kekasihnya... sangatlah bermakna meski sungguh insignifikan jika dibandingkan kebesaran alam semesta. That limitation, is it a gift or a curse?

Mungkin bisa dibilang bahwa ekspansi Semesta tersebut mengalir melalui hasrat manusia untuk berkarya, berkreasi. Berkreasi, dalam arti yang seluas-luasnya. Tidak terbatas untuk berkreasi dalam bentuk lukisan atau musik. Membesarkan anak, memimpin sebuah negara, memproduksi makanan, atau hal-hal lainnya, termasuk dalam Kreasi juga.

Karya seni, musik, dan literatur adalah bentuk yang paling mudah untuk dilihat mengenai hubungan 'Kreasi' dan 'Ekspansi' ini.
Pertama-tama mari coba bayangkan, organisme bersel satu pertama yang ada di bumi, memilih untuk membelah dirinya dan mengcopy informasi genetik yang ada pada dirinya. Dan mungkin setelah beberapa waktu, organisme tersebut menjadi banyak lalu mereka ada yang melebur menjadi sesuatu yang baru atau ada saja yang memang hasil copyannya sedikit berbeda. Intinya, dari sana Ia berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks.
Mungkinkah salah satu alasan kenapa manusia begitu berhasrat untuk berkarya, berKreasi, adalah alasan yang sama mengapa sang organisme pertama tadi itu membelah dirinya?

Bahwa kita berkarya dan berkreasi untuk meninggalkan sesuatu dan berbagi. To pass it on.
(selain mungkin karena ada hasrat di diri manusia untuk meninggalkan sebuah bukti atas eksistensinya di dunia) Lalu yang sudah kita pass on tersebut, seperti estafet, diterima oleh orang-orang lain dengan cara yang berbeda-beda dan diteruskan juga berkembang dengan cara yang berbeda-beda.

Jika bukan dalam bentuk karya, mungkin dalam bentuk Pengalaman. Baik pengalaman yang personal, maupun yang lebih luas lagi—mungkin seperti bagaimana seorang Messiah menolong orang yang tertindas dan mencoba merombak status quo.

Kita bisa melihat Pengalaman orang lain dalam bentuk Cerita, atau dengan bentuk yang lebih solid, berupa: sejarah.

Karya, Pengalaman, Cerita... adalah bagian dari Kreasi dan Kreasi adalah bagian dari Ekspansi sang Semesta.

Karya, Pengalaman, Cerita sebagai sisi-sisi yang begitu banyak ada pada sebuah bulatan geodesik (Kreasi). Dan Kreasi adalah bulatan-bulatan geodesik yang ada didalam bulatan geodesik yang lebih besar lagi (Ekspansi Semesta).

Untuk sekarang, itulah yang saya mengerti

Friday, March 6, 2015

Sistem, Individu, dan Tombak

And then it came to me, "could it possibly be that the only system—as in political-economic/ideological sense—that is the most perfect, is, The System itself?"

The System sebagai sebuah wadah, ekosistem.
Ideologi politik-ekonomi sebagai organisme-organisme yang saling berinteraksi (saling bereaksi, bersintesis).

Entah mengapa saya merasa takut saat mencoba membayangkan sebuah sistem ideologi yang sangat sempurna.

Utopia, yang begitu banyak dicemooh dan didambakan banyak orang.

Satu sisi, Utopia itu penting. Sebuah masyarakat yang tidak mengizinkan adanya ruang untuk pemikiran-pemikiran yang utopis, adalah masyarakat yang tidak etis. Kira-kira seperti itu yang diucapkan oleh Susan Sontag.

Dari sana kita bisa berangkat untuk menaruh Utopia sebagai sebuah 'cara', bukan tujuan akhir.

Utopia as means, not ends.

Ngeri rasanya bagi saya untuk membayangkan sebuah keadaan yang Utopia, dimana semuanya sudah mentok dan sempurna.

Dan mungkin memang lebih tepat untuk menempatkan Utopia sebagai means/way.

Jacques Fresco juga tak percaya dengan Utopia. Ia pernah berpendapat kira-kira seperti ini: jika saya berhasil membuat sebuah kota yang sangat sempurna, dimana orang-orang yang tinggal disana sangat sejahtera sampai-sampai mereka membuat patung untuk mengingat jasa-jasa saya.
Setelah saya meninggal, mungkin generasi-generasi penerus yang ada di kota itu akan menemukan kekurangan-kekurangan dari kota yang saya bangun tersebut—dan mereka akan memperbaikinya dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih baik lagi.

***

Saya sendiri sebenarnya punya fetish terhadap mengkotak-kotakan sesuatu. pigeon hole. Yang awalnya berupa rasa penasaran dan ketergantungan dalam mencari tau genre-genre musik—seperti apa warnanya misalnya—lalu merambah ke ideologi, pemikiran-pemikiran, school of thoughts—"ooh dia tuh [masukan nama ideologi/pemikiran]-ist".

Namun di saat yang sama, saya menyukai konsep bahwa manusia itu kompleks dan melabel seseorang hanya akan membuat konsep tersebut mubazir. Seperti melucuti individu tersebut dari segala kekompleksannya.
Dan memang, banyak hal itu tak bisa sekedar dianggap hitam atau putih, 'ya' atau 'tidak', baik atau jahat—begitupun manusia.

Beberapa tahun belakang, dengan dasar fetish itu tadi, saya mencoba mencari sistem dan ideologi yang bisa menjadi wadah saya. Mungkin karena menjadi bagian dari proses pembentukan identitas saya juga.

Akhir-akhir ini saya berpikir lagi mengenai hal tersebut. Entah mengapa, sekarang saya di posisi dimana saya lebih suka dengan konsep dimana Sang Individu, harus berada di atas Sang Sistem.

That, whatever system is taking place, the individual should be able to be above it; survive its games; not being driven by its rules, but instead, the individual must be able to bend it, use its rules as their tools to flourish.

Sang individu harus menjadi pionir 'Humanisme Universal' di dalam sistem yang memaksakan keseragaman; menjadi pionir 'Realisme Sosialis' di sistem yang menimbun kesengsaraan disekitarnya dengan kenikmatan yang dangkal.

***

Ketika membicarakan Sistem, Globalisasi tak akan jauh-jauh dari bahan pembicaraannya.
Sekedar menyalahkan Globalisasi sangatlah kontra-produktif. Menyalahkan Globalisasi itu seperti menyalahkan manusia-manusia pra-sejarah karena mereka menciptakan tombak yang terbuat dari batu.

Sekarang, apakah tombak tersebut digunakan untuk berlindung dari hewan buas atau untuk menusuk anggota-anggota suku tetangga?

Ada usaha-usaha yang berpikir bahwa untuk mengatasi isu-isu dan masalah kompleks yang kita miliki saat ini (di era paska-globalisasi?), bukanlah dengan menganggap 'inovasi' sebagai problem solver seolah-olah sebuah puzzle berantakan diatas meja yang menunggu seseorang untuk menyusunnya. Namun dengan harus memiliki pemahaman-pemahaman yang dalam di berbagai macam bidang dari Sejarah sampai yang bersifat teknis, secara holistik—menyeluruh. Sehingga yang kita butuhkan bukanlah inovasi, melainkan 'imunisasi' dengan mendesain teknologi dan budaya yang preventif—yang tentunya membutuhkan pemahaman dalam yang menyeluruh itu tadi.

Seperti yang diungkapkan Benjamin Bratton dalam Ted talk nya (yang berupa kritik untuk Ted talks):
https://www.youtube.com/watch?v=Yo5cKRmJaf0

Mungkin yang Ia maksud adalah "tombak batu" berikutnya yang harus kita ciptakan, harus kita siapkan secara matang (pemahaman dalam yang menyeluruh) dan tidak sekedar menciptakan Tombak (yang bisa dipakai baik untuk melindungi diri dari hewan buas maupun untuk membunuh suku sebelah), namun meminimumkan kemungkinan "Tombak" baru tersebut untuk bisa dipakai untuk menusuk "suku sebelah" (baca: masalah baru yang tak jauh berbeda dengan masalah yang kita miliki sekarang).

Monday, February 23, 2015

So What

So if the world attained it's peace
its people unite in harmony
send flowers to each other
no more wars to bother

So if the world had enough
Tired of its insecurity
Tired of its constant dangers
Axis WMD Internet spionage Terror Bigbrotherly Industrial Complex

So if the people held hands together
empathy over egotism
foods over bombs
'The Little Prince' over 'The Prince'

Dear peacemaker of the world,

where would you think all of those enormous piles of sophisticated knowledge that many State (Empire)'s intelligence agencies had build over the years would go?

The dustbin? Second-hand bookstores?

Sunday, February 22, 2015

Lucut

Manusia itu menyeramkan. Yang lebih menyeramkan lagi adalah hal-hal yang mereka lakukan atas nama sebuah label.

Masih banyak yang tak terima dengan embel-embel komunisme dan PKI. Ada yang sebegitu bencinya melihat seorang (kandidat?finalis?)Putri Indonesia dari Semarang yang memakai kaos berwarna merah dengan gambar palu dan arit di instagram perempuan tersebut. Sampai mereka berkoar-koar "Jangan sampai terulang lagi", "Tidak ada ruang untuk PKI", dan berbagai macam teriakan lainnya yang penuh akan kebencian.

Saya merasa sedikit... takut, dicampur dengan sedih dan muak. Mungkin kejadian diatas tidak lah segitu pentingnya. Paling cuma sensasi sesaat.

Tapi, bayangan dimana seorang individu bisa dilucuti dari segala kekompleksitasannya sebagai manusia, lalu dikerdilkan menjadi sebuah label. Dan dengan label itu saja sudah cukup untuk menjustifikasi segala perbuatan yang bisa dilakukan kepada individu tersebut...

meski setelah dipikir-pikir lagi itu adalah hal yang sangat natural yang kita selalu lakukan (dan saya sendiri adalah pigeon hole freak), tapi tetap seram jika dibayangkan seperti itu...



Yang saya bingung, yang berkoar-koar ini adalah orang Jawa juga. Mungkin harus diteliti lagi perbedaan dampak dari insiden 65 di tempat yang berbeda-beda. Tapi... untuk saya melihat kejadian ini, adalah seperti melihat seorang kawan melayu muslim sumatra yang berkoar-koar penuh benci setelah melihat seorang figur masyarakat memakai embel-embel kejawen.

Padahal mungkin tokoh tersebut memang sudah dari sananya dibesarkan dengan sudut pandang kejawen.

Belum lagi, kalau kembali ke soal 65-pki-komunisme, makin banyak diskusi-diskusi baik bentuk perbincangan maupun format lainnya seperti film yang menunjukan sisi lain dari insiden 65 tersebut.

Bahwa tidak semuanya itu Hitam dan Putih. Yang negara bantai saat 65 itu kebanyakan orang-orang yang 'dituduh' komunis.

Tambah lagi, mungkin kalau ditelusuri secara sosiologis, kejadian 65 itu bisa juga ditarik konklusinya sebagai konflik perebutan kuasa atas Tanah.

Intinya, banyak sisi yang bisa ditarik, yang kita tidak ketahui, dan yang memang disembunyi-bunyikan oleh pemenang sejarah.

Yang saya masih sedih saat melihatnya... adalah ke-bigot-an (nggatau yang bener nulisnya kayak gimana) kita di Indonesia.

Saya sadar—dan saya selalu menolak ketika ada yang bilang saya itu open-minded, karena—everyone is ignorant in their own ways. Everyone is a bigot for something. Istilahnya, saya ignoran/bigot untuk hal-hal yang menurut pandangan saya adalah hal yang ignorant/bigot.

Jadi satu sisi saya menerima itu. Tapi di sisi lain saya tetap merasa sedih. Sedih disini bukan merendahkan yang lain. Saya beneran merasa kayak... ditusuk, disedot life-juicenya, setiap saat melihat kejadian-kejadian seperti itu.

Cengeng memang. tapi ya mau gimana.