Thursday, June 19, 2014

Jangkung (Dialog Menuju Horor)

"Buat apa? Kalau sekolah mahal-mahal, cuma buat ngebunuh pikiran lo pelan-pelan? Semuanya dipenjara, dibumiratain... dibikin mati rasa. Ini nih, didalem kepala: mati rasa! Gue maunya pikiran gue diliberasi, bukan malah dipenjara!"

Remi mengetuk kepalanya berkali-kali dengan telunjuknya tak tahan mengekspresikan perasaannya secara non-verbal. Tarin, yang sedikit puyeng melihat Remi yang sekarang tak berhenti menggelengkan kepalanya sembari bergumam sendiri, membuka pintu kamar dan segera menaruh tasnya. Remi menyusul masuk teman sekontrakannya tersebut dan langsung duduk dan menyalakan rokoknya.

"Yah... emangnya lo udah siap, Rem? Beban moral orang yang udah 'tercerahkan' pasti berat, bro... Lo inget kan, kata siapa tuh... Vivekarya apa siapa itu namanya, yang bilang: The act of liberation is a deliberately painful process."

"Ya tapi tetep ajalah, Tar! Ngapain lo ngerepotin keluarga lo dan diri lo sendiri, cuma buat ngebodohin diri lo sendiri?"

"Nggak gitu jugalah, men. Tiap lo belajar pastikan nambah sesuatu di ilmu lo. Ngga ada yang namanya ngurangin."

"Tapi yang ditambahin itu apaan? Lebih kayak manual biar lo makin jadi onderdil. Onderdil dari mesin yang bobrok, karatan, rongsokan kayak motor-motor modol bayar kredit pinggiran jalan. Hah!"

"Lo udah liat sendiri kan di kelas tadi gimana sejarah institusi akademik itu muncul. Dan lo sadar nggak? sebagian besar dari perkembangannya dunia akademik aja, didasari bukan sama niat untuk nge-liberasi pikiran orang. Okelah, cerainya filosofi sama sains ngga masuk itungan. Tapi sisanya? Developmental studies aja deh misalnya. Awalnya dari apa sih? Area Studies. Area studies ya cuma nama halus doang dari Oriental Studies! Yang dulu pas jaman itu dibuat sama 'orang Barat' dengan pandangan kalo 'non-Barat' itu BEDA. Entah lebih kotor, primitif, atau apalah. Pokoknya kita nggak bisa pisahin, bahkan dari dunia akademik, dominasi kuasa dan dua kata favorit lo itu..."

"Apaan? class struggle?"

"Iye." Tarin membuka layar laptopnya, diam-diam meng-google definisi dari class struggle tanpa sepengetahuan Remi.

"Ya terus sekarang gimana, Tar! Lo udah tau-- bukan deh, lo sekarang bisa ngeliat dari sudut pandang yang berbeda. Lo secara sadar, tahu kalau, sekarang neh edukasi yang lagi lo jalanin ini neh, adalah bagian dari sistem yang didasari dengan tujuan untuk mendominasi, tujuan untuk eksploitasi. Lo secara sadar tahu kalau lo 'dididik' untuk jadi robot: bahwa manusia yang fungsional itu adalah yang bisa ngesustain, ngenyanggah, sistem bobrok yang ada sekarang. Dan lo terima-terima aja?"

"Rem, nggak ada gunanya cuma main nunjuk-nunjuk, fingerpointing keburukan sistem yang ada. Ngga ada gunanya nyalahin Kapitalisme, kalo lo sendiri itu bagian dari Kapitalisme juga...

Oke, gini deh, Rem. Ini gue sendiri juga nggabisa jawab, atau bahkan emang bukan untuk gue jawab kali. Lo lebih memilih jadi yang mana: Yang ignoran, ngga tahu apa-apa dan bahagia; atau yang tahu, mencari tahu dan terus menggali, tapi semakin dalam semakin kesiksa karena ke-tahu-an lo itu?"

"...ya jelas yang kedua, lah!"

Akhirnya keduanya terdiam. Hanya asap rokok dan suara getaran kipas angin di pojokan kamar tersebut. Mereka berdua tak tahu, bahwa sedari tadi di pojok tersebut juga, sosok yang jangkung hampir menyentuh langit-langit dan berkepala putih tanpa muka dengan hitam di bagian badannya; diam tanpa sedikitpun gerak di badannya, berdiri menghadap ke arah mereka. Memerhatikan dengan seksama.

-

“The so-called ‘psychotically depressed’ person who tries to kill herself doesn’t do so out of quote ‘hopelessness’ or any abstract conviction that life’s assets and debits do not square. And surely not because death seems suddenly appealing. The person in whom Its invisible agony reaches a certain unendurable level will kill herself the same way a trapped person will eventually jump from the window of a burning high-rise. Make no mistake about people who leap from burning windows. Their terror of falling from a great height is still just as great as it would be for you or me standing speculatively at the same window just checking out the view; i.e. the fear of falling remains a constant. The variable here is the other terror, the fire’s flames: when the flames get close enough, falling to death becomes the slightly less terrible of two terrors. It’s not desiring the fall; it’s terror of the flames. And yet nobody down on the sidewalk, looking up and yelling ‘Don’t!’ and ‘Hang on!’, can understand the jump. Not really. You’d have to have personally been trapped and felt flames to really understand a terror way beyond falling.”

- DFW

Wednesday, June 4, 2014

Awas! Ada Taik O'ong di Wajah Anda!

*Tulisan berikut akan cukup vulgar dan bau layaknya comberan*

Akhir-akhir ini anda bisa dengan mudah menemukan diri anda dihantam bertubi-tubi dengan hiburan vulgar lima tahunan sekali: gelut calon presiden.

Entertainment semacam inilah yang tampaknya ber-rating tinggi. Hiburan vulgar seperti inilah yang bisa membangun kebersamaan kita, berkumpul bersama kawan, menertawakan orang-orang yang saling ribut menjelekan capres tim lawannya.

Tentu tak hanya tawa, anda juga mungkin merasa muak, geram, dan gatal ingin menggaruk sampai kulit kepala anda bolong.
Mungkin harusnya para pelaku politik Indonesia membuat sebuah deal dengan produser tv-tv lokal untuk membuat acara-acara tv baru dan mereka bisa menambah pendapatan mereka dengan berbicara dan beradu bullshit di acara-acara tersebut (Apa memang malah sudah?). Lumayankan, entertainment semacam ini toh laku keras tak hanya di tv tapi juga di internet, seperti di youtube misalnya.

Di dalam hiburan-hiburan vulgar tersebut, banyak tentunya yang berisikan kampanye visi misi program dan tetek bengek slogan masing-masing kandidat. Dan hanya dari kampanye tersebut itu saja, kita bisa menarik sedikit gambaran tentang kita sendiri sebagai sebuah masyarakat: seperti apa hal yang kita ingin lihat untuk terjadi? Apa pandangan kita terhadap isu-isu —entah isu lingkungan, netralitas internet, HAM, energi, atau lainnya— dan isu mana yang benar-benar kita prioritaskan terdahulu? Seperti apakah keinginan kita sebagai sebuah masyarakat?

Hal lain yang bisa kita lihat juga dari bagian arus kampanye-kampanye tersebut, adalah narasi yang mereka pakai dalam berkampanye. Sering kita menemukan sebuah premis atau asumsi, bahwa generasi anda dan saya itu apatis. Tak peduli dengan negara sendiri; merasa kalah dengan negara lain dan ingin tinggal disana saja; cuma bisa mengumbar kejelekan-kejelekan tanpa tau prestasi negara, dan lain-lainnya.

Entahlah... tapi narasi semacam inilah yang selalu menutup-nutupi kepingan wajah masyarakat Indonesia yang majemuk.

Maksud saya, bagaimana dengan mereka yang menganggap bahwa pemilu bukanlah satu-satunya cara untuk berdemokrasi? Yang tidak mau hanya senang diberi kesempatan lima tahun sekali, lalu disisanya tetap menjadi budak dan tak bisa turut andil, apa lagi bersuara di dalam negara.

Atau mereka yang tak pernah berpikir untuk tinggal di negara luar karena lebih bagus daripada Indonesia... tapi karena mereka tahu bahwa konsep negara hanyalah konstruksi sosial dan bagian dari tahap laju sejarah —masyarakat yang berkembang dari kecil: tribal, menuju agrikultural, lalu menuju skala besar dan massal: Industrial, dan seiiringan dengannya, muncul konsep Nation-State dan lahirnya identitas kebangsaan. 'Anda adalah apa yang tercetak diatas kertas-kertas itu, yang bernama paspor'.

Atau yang sinis, kalau bukan lagi skeptis, terhadap apa yang muncul di permukaan? Bahwa ada sesuatu yang tercium busuknya dibalik permukaan yang terlihat, meski kita tak tahu pasti apa itu.
Bahwa siapapun yang menang nanti, di belakangnya akan tetap ada mereka —entah mereka yang ada di meja legislatif atau diluar itu— yang ujung-ujungnya tetap merekalah yang akan menentukan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka (terciumkah bau dari partai oposisi berwarna biru dan bagaimana posisi mereka memberi pengaruh pada penentuan kebijakan-kebijakan nanti?). Bahwa semua milih-memiluh ini hanya omongkosong formalitas skala nasional.

Jarang kita bisa menemukan refleksi wajah masyarakat kita yang seperti itu di dalam arus hiburan vulgar ini.

Satu hal yang pasti, wajah yang terefleksikan dari masyarakat kita di permukaan, mungkin juga akan terefleksikan di sang pemenang pemilu nanti.

Masyarakat yang fasis, akan melahirkan pemimpin yang fasis, yang tak akan mengerti dan menghargai perbedaan.
Masyarakat yang buta akan masa lalunya, akan melahirkan pemimpin yang terus menutup-nutupi masa lalu.
Masyarakat yang otaknya mentok di pemilu, akan melahirkan pemimpin yang nggak akan mendengar saat sudah bukan pemilu lagi.
Masyarakat yang tolol akan terus 'melahirkan' pemimpin saja, bukannya malah memimpinnya sendiri.

Ada benarnya juga yang pernah diungkapkan Hans David tentang masyarakat dan pemimpinnya.

Pejabat atau orang-orang yang kita sebut sebagai 'pemimpin' itu pada dasarnya (atau seharusnya) hanyalah pelayan publik.
Tapi kalau yang dilayani saja kampret, masa berharap dilayani sama orang yang baik dan pantas?