Tuesday, March 31, 2015

Semesta, untuk saat ini

Saya menulis untuk mencoba mengerti—selain untuk sekedar menumpahkan yang ada di pikiran saja. Untuk itu, izinkanlah saya mencoba mengerti beberapa hal dengan keterbatasan saya saat ini.

Anggap saja Alam Semesta itu ingin berekspansi: Ia ingin berkembang.

Yang awalnya hanya ledakan dan debu-debu bintang. Ia berkembang dan Bumi hanyalah sebagian kecil dari proses ekspansinya. Di dalam bumi itu sendiri tentu banyak perkembangan—dari organisme bersel satu menjadi yang ada sekarang. Itu semua permainan Order dan Chaos, Hirarki dan Anarki—tak benar-benar berlawanan, satu adalah bagian yang satunya lagi. Mengapa? Dari Chaos/Anarki tersebut lahir Order/Hirarki seperti bagaimana dari satu organisme sederhana sekarang berkembang menjadi bermacam-macam spesies. Dan di luar (dan di dalam) Order/Hirarki tersebut berkecamuk Chaos/Anarki seperti yang ada pada Microverse dan Macroverse.
Intinya, di dalam Order ada Chaos, di dalam Chaos terdapat Order. Sama halnya untuk Hirarki dan Anarki.

Manusia adalah salah satu ekspansi dari Semesta juga. Kita, kalau menurut Buckminster Fuller, menjadi Verb—kata kerja dan fungsi integral milik Semesta. Melalui Pengalaman di kehidupan yang manusia jalani—kesalahan, penyesalan, pencapaian, mimpi, kekalahan, kemenangan—Ia berekspansi.

Persepsi manusia itu terbatas. Ia hanya bisa melihat kanan dari kiri, melihat atas dari bawah, dan sebaliknya. Ia tak bisa melihat dan memahami segalanya dengan pandangan yang Omnipoten, menyeluruh.
Namun justru karena keterbatasan tersebut, Ia menjadi berarti. Bahwa setiap darah yang terbuang dari lukanya—hanya agar Ia bisa memetik bunga dan memberikan bunga itu kepada kekasihnya... sangatlah bermakna meski sungguh insignifikan jika dibandingkan kebesaran alam semesta. That limitation, is it a gift or a curse?

Mungkin bisa dibilang bahwa ekspansi Semesta tersebut mengalir melalui hasrat manusia untuk berkarya, berkreasi. Berkreasi, dalam arti yang seluas-luasnya. Tidak terbatas untuk berkreasi dalam bentuk lukisan atau musik. Membesarkan anak, memimpin sebuah negara, memproduksi makanan, atau hal-hal lainnya, termasuk dalam Kreasi juga.

Karya seni, musik, dan literatur adalah bentuk yang paling mudah untuk dilihat mengenai hubungan 'Kreasi' dan 'Ekspansi' ini.
Pertama-tama mari coba bayangkan, organisme bersel satu pertama yang ada di bumi, memilih untuk membelah dirinya dan mengcopy informasi genetik yang ada pada dirinya. Dan mungkin setelah beberapa waktu, organisme tersebut menjadi banyak lalu mereka ada yang melebur menjadi sesuatu yang baru atau ada saja yang memang hasil copyannya sedikit berbeda. Intinya, dari sana Ia berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks.
Mungkinkah salah satu alasan kenapa manusia begitu berhasrat untuk berkarya, berKreasi, adalah alasan yang sama mengapa sang organisme pertama tadi itu membelah dirinya?

Bahwa kita berkarya dan berkreasi untuk meninggalkan sesuatu dan berbagi. To pass it on.
(selain mungkin karena ada hasrat di diri manusia untuk meninggalkan sebuah bukti atas eksistensinya di dunia) Lalu yang sudah kita pass on tersebut, seperti estafet, diterima oleh orang-orang lain dengan cara yang berbeda-beda dan diteruskan juga berkembang dengan cara yang berbeda-beda.

Jika bukan dalam bentuk karya, mungkin dalam bentuk Pengalaman. Baik pengalaman yang personal, maupun yang lebih luas lagi—mungkin seperti bagaimana seorang Messiah menolong orang yang tertindas dan mencoba merombak status quo.

Kita bisa melihat Pengalaman orang lain dalam bentuk Cerita, atau dengan bentuk yang lebih solid, berupa: sejarah.

Karya, Pengalaman, Cerita... adalah bagian dari Kreasi dan Kreasi adalah bagian dari Ekspansi sang Semesta.

Karya, Pengalaman, Cerita sebagai sisi-sisi yang begitu banyak ada pada sebuah bulatan geodesik (Kreasi). Dan Kreasi adalah bulatan-bulatan geodesik yang ada didalam bulatan geodesik yang lebih besar lagi (Ekspansi Semesta).

Untuk sekarang, itulah yang saya mengerti

Friday, March 6, 2015

Sistem, Individu, dan Tombak

And then it came to me, "could it possibly be that the only system—as in political-economic/ideological sense—that is the most perfect, is, The System itself?"

The System sebagai sebuah wadah, ekosistem.
Ideologi politik-ekonomi sebagai organisme-organisme yang saling berinteraksi (saling bereaksi, bersintesis).

Entah mengapa saya merasa takut saat mencoba membayangkan sebuah sistem ideologi yang sangat sempurna.

Utopia, yang begitu banyak dicemooh dan didambakan banyak orang.

Satu sisi, Utopia itu penting. Sebuah masyarakat yang tidak mengizinkan adanya ruang untuk pemikiran-pemikiran yang utopis, adalah masyarakat yang tidak etis. Kira-kira seperti itu yang diucapkan oleh Susan Sontag.

Dari sana kita bisa berangkat untuk menaruh Utopia sebagai sebuah 'cara', bukan tujuan akhir.

Utopia as means, not ends.

Ngeri rasanya bagi saya untuk membayangkan sebuah keadaan yang Utopia, dimana semuanya sudah mentok dan sempurna.

Dan mungkin memang lebih tepat untuk menempatkan Utopia sebagai means/way.

Jacques Fresco juga tak percaya dengan Utopia. Ia pernah berpendapat kira-kira seperti ini: jika saya berhasil membuat sebuah kota yang sangat sempurna, dimana orang-orang yang tinggal disana sangat sejahtera sampai-sampai mereka membuat patung untuk mengingat jasa-jasa saya.
Setelah saya meninggal, mungkin generasi-generasi penerus yang ada di kota itu akan menemukan kekurangan-kekurangan dari kota yang saya bangun tersebut—dan mereka akan memperbaikinya dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih baik lagi.

***

Saya sendiri sebenarnya punya fetish terhadap mengkotak-kotakan sesuatu. pigeon hole. Yang awalnya berupa rasa penasaran dan ketergantungan dalam mencari tau genre-genre musik—seperti apa warnanya misalnya—lalu merambah ke ideologi, pemikiran-pemikiran, school of thoughts—"ooh dia tuh [masukan nama ideologi/pemikiran]-ist".

Namun di saat yang sama, saya menyukai konsep bahwa manusia itu kompleks dan melabel seseorang hanya akan membuat konsep tersebut mubazir. Seperti melucuti individu tersebut dari segala kekompleksannya.
Dan memang, banyak hal itu tak bisa sekedar dianggap hitam atau putih, 'ya' atau 'tidak', baik atau jahat—begitupun manusia.

Beberapa tahun belakang, dengan dasar fetish itu tadi, saya mencoba mencari sistem dan ideologi yang bisa menjadi wadah saya. Mungkin karena menjadi bagian dari proses pembentukan identitas saya juga.

Akhir-akhir ini saya berpikir lagi mengenai hal tersebut. Entah mengapa, sekarang saya di posisi dimana saya lebih suka dengan konsep dimana Sang Individu, harus berada di atas Sang Sistem.

That, whatever system is taking place, the individual should be able to be above it; survive its games; not being driven by its rules, but instead, the individual must be able to bend it, use its rules as their tools to flourish.

Sang individu harus menjadi pionir 'Humanisme Universal' di dalam sistem yang memaksakan keseragaman; menjadi pionir 'Realisme Sosialis' di sistem yang menimbun kesengsaraan disekitarnya dengan kenikmatan yang dangkal.

***

Ketika membicarakan Sistem, Globalisasi tak akan jauh-jauh dari bahan pembicaraannya.
Sekedar menyalahkan Globalisasi sangatlah kontra-produktif. Menyalahkan Globalisasi itu seperti menyalahkan manusia-manusia pra-sejarah karena mereka menciptakan tombak yang terbuat dari batu.

Sekarang, apakah tombak tersebut digunakan untuk berlindung dari hewan buas atau untuk menusuk anggota-anggota suku tetangga?

Ada usaha-usaha yang berpikir bahwa untuk mengatasi isu-isu dan masalah kompleks yang kita miliki saat ini (di era paska-globalisasi?), bukanlah dengan menganggap 'inovasi' sebagai problem solver seolah-olah sebuah puzzle berantakan diatas meja yang menunggu seseorang untuk menyusunnya. Namun dengan harus memiliki pemahaman-pemahaman yang dalam di berbagai macam bidang dari Sejarah sampai yang bersifat teknis, secara holistik—menyeluruh. Sehingga yang kita butuhkan bukanlah inovasi, melainkan 'imunisasi' dengan mendesain teknologi dan budaya yang preventif—yang tentunya membutuhkan pemahaman dalam yang menyeluruh itu tadi.

Seperti yang diungkapkan Benjamin Bratton dalam Ted talk nya (yang berupa kritik untuk Ted talks):
https://www.youtube.com/watch?v=Yo5cKRmJaf0

Mungkin yang Ia maksud adalah "tombak batu" berikutnya yang harus kita ciptakan, harus kita siapkan secara matang (pemahaman dalam yang menyeluruh) dan tidak sekedar menciptakan Tombak (yang bisa dipakai baik untuk melindungi diri dari hewan buas maupun untuk membunuh suku sebelah), namun meminimumkan kemungkinan "Tombak" baru tersebut untuk bisa dipakai untuk menusuk "suku sebelah" (baca: masalah baru yang tak jauh berbeda dengan masalah yang kita miliki sekarang).