Friday, March 6, 2015

Sistem, Individu, dan Tombak

And then it came to me, "could it possibly be that the only system—as in political-economic/ideological sense—that is the most perfect, is, The System itself?"

The System sebagai sebuah wadah, ekosistem.
Ideologi politik-ekonomi sebagai organisme-organisme yang saling berinteraksi (saling bereaksi, bersintesis).

Entah mengapa saya merasa takut saat mencoba membayangkan sebuah sistem ideologi yang sangat sempurna.

Utopia, yang begitu banyak dicemooh dan didambakan banyak orang.

Satu sisi, Utopia itu penting. Sebuah masyarakat yang tidak mengizinkan adanya ruang untuk pemikiran-pemikiran yang utopis, adalah masyarakat yang tidak etis. Kira-kira seperti itu yang diucapkan oleh Susan Sontag.

Dari sana kita bisa berangkat untuk menaruh Utopia sebagai sebuah 'cara', bukan tujuan akhir.

Utopia as means, not ends.

Ngeri rasanya bagi saya untuk membayangkan sebuah keadaan yang Utopia, dimana semuanya sudah mentok dan sempurna.

Dan mungkin memang lebih tepat untuk menempatkan Utopia sebagai means/way.

Jacques Fresco juga tak percaya dengan Utopia. Ia pernah berpendapat kira-kira seperti ini: jika saya berhasil membuat sebuah kota yang sangat sempurna, dimana orang-orang yang tinggal disana sangat sejahtera sampai-sampai mereka membuat patung untuk mengingat jasa-jasa saya.
Setelah saya meninggal, mungkin generasi-generasi penerus yang ada di kota itu akan menemukan kekurangan-kekurangan dari kota yang saya bangun tersebut—dan mereka akan memperbaikinya dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih baik lagi.

***

Saya sendiri sebenarnya punya fetish terhadap mengkotak-kotakan sesuatu. pigeon hole. Yang awalnya berupa rasa penasaran dan ketergantungan dalam mencari tau genre-genre musik—seperti apa warnanya misalnya—lalu merambah ke ideologi, pemikiran-pemikiran, school of thoughts—"ooh dia tuh [masukan nama ideologi/pemikiran]-ist".

Namun di saat yang sama, saya menyukai konsep bahwa manusia itu kompleks dan melabel seseorang hanya akan membuat konsep tersebut mubazir. Seperti melucuti individu tersebut dari segala kekompleksannya.
Dan memang, banyak hal itu tak bisa sekedar dianggap hitam atau putih, 'ya' atau 'tidak', baik atau jahat—begitupun manusia.

Beberapa tahun belakang, dengan dasar fetish itu tadi, saya mencoba mencari sistem dan ideologi yang bisa menjadi wadah saya. Mungkin karena menjadi bagian dari proses pembentukan identitas saya juga.

Akhir-akhir ini saya berpikir lagi mengenai hal tersebut. Entah mengapa, sekarang saya di posisi dimana saya lebih suka dengan konsep dimana Sang Individu, harus berada di atas Sang Sistem.

That, whatever system is taking place, the individual should be able to be above it; survive its games; not being driven by its rules, but instead, the individual must be able to bend it, use its rules as their tools to flourish.

Sang individu harus menjadi pionir 'Humanisme Universal' di dalam sistem yang memaksakan keseragaman; menjadi pionir 'Realisme Sosialis' di sistem yang menimbun kesengsaraan disekitarnya dengan kenikmatan yang dangkal.

***

Ketika membicarakan Sistem, Globalisasi tak akan jauh-jauh dari bahan pembicaraannya.
Sekedar menyalahkan Globalisasi sangatlah kontra-produktif. Menyalahkan Globalisasi itu seperti menyalahkan manusia-manusia pra-sejarah karena mereka menciptakan tombak yang terbuat dari batu.

Sekarang, apakah tombak tersebut digunakan untuk berlindung dari hewan buas atau untuk menusuk anggota-anggota suku tetangga?

Ada usaha-usaha yang berpikir bahwa untuk mengatasi isu-isu dan masalah kompleks yang kita miliki saat ini (di era paska-globalisasi?), bukanlah dengan menganggap 'inovasi' sebagai problem solver seolah-olah sebuah puzzle berantakan diatas meja yang menunggu seseorang untuk menyusunnya. Namun dengan harus memiliki pemahaman-pemahaman yang dalam di berbagai macam bidang dari Sejarah sampai yang bersifat teknis, secara holistik—menyeluruh. Sehingga yang kita butuhkan bukanlah inovasi, melainkan 'imunisasi' dengan mendesain teknologi dan budaya yang preventif—yang tentunya membutuhkan pemahaman dalam yang menyeluruh itu tadi.

Seperti yang diungkapkan Benjamin Bratton dalam Ted talk nya (yang berupa kritik untuk Ted talks):
https://www.youtube.com/watch?v=Yo5cKRmJaf0

Mungkin yang Ia maksud adalah "tombak batu" berikutnya yang harus kita ciptakan, harus kita siapkan secara matang (pemahaman dalam yang menyeluruh) dan tidak sekedar menciptakan Tombak (yang bisa dipakai baik untuk melindungi diri dari hewan buas maupun untuk membunuh suku sebelah), namun meminimumkan kemungkinan "Tombak" baru tersebut untuk bisa dipakai untuk menusuk "suku sebelah" (baca: masalah baru yang tak jauh berbeda dengan masalah yang kita miliki sekarang).

No comments:

Post a Comment